Perlu Strategi Khusus Mendeteksi Penerima Manfaat Perusahaan

Advertorial | CNN Indonesia
Sabtu, 09 Nov 2019 00:00 WIB
Pemerintah telah memberikan sanksi pada 23 perusahaan yang dinilai bertanggung jawab terhadap peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015
Foto: (dok.Kemenkumham)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah telah memberikan sanksi pada 23 perusahaan yang dinilai bertanggung jawab terhadap peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015. Namun, diduga perusahaan-perusahaan tersebut memiliki hubungan dengan perusahaan besar yang justru tidak tersentuh oleh pemerintah. Butuh strategi khusus yang memungkinkan pemerintah mampu mendeteksi penerima manfaat dari setiap perusahaan yang berdiri di Indonesia.

Balitbangkumham baru saja melakukan penelitian terhadap kebijakan pengenalan penerima manfaat perusahaan. Dari total 923.037 Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia, baru 28.327 atau 3,06% PT yang telah mendaftarkan penerima manfaat perusahaannya.

Menurut peneliti Balitbangkumham, Nevey Varida, dari jumlah ini masih banyak perusahaan yang hanya mencantumkan legal owner atau pemilik yang terdaftar secara hukum. Sementara, pemilik yang tidak terdaftar tapi menerima lebih banyak manfaat justru tidak didaftarkan.

Konsep penerima manfaat (Beneficial Owners, selanjutnya disebut BO) telah tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.

Dalam pasal 1 ayat 2 disebutkan, BO sebagai orang perseorangan yang memiliki sebenarnya atas dana atau saham korporasi sebagai akibat dari kepemilikan tiga kewenangan, yaitu:

1. Menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina atau pengawas pada korporasi.

2. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi.

3. Berhak atas atau menerima manfaat dari korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Perlu Strategi Khusus Mendeteksi Penerima Manfaat PerusahaanFoto: (dok.Kemenkumham)
Pengungkapan data BO tidak hanya berguna untuk kasus karhutla. Data ini sebenarnya sangat mendesak untuk penanganan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.

Dilansir dari Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 3.772 dari 11.000 usaha tambang rawan dikorupsi. ICW memperkirakan potensi pemasukan negara yang hilang mencapai Rp 28,5 triliun akibat kepemilikan yang tersembunyi.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, pada Juli 2019 lalu pernah menyinggung soal Perpres BO. Menurut Yasonna, pengungkapan pemilik manfaat akan menutup potensi celah tindak kejahatan. Hal ini mengingat banyaknya upaya pengelabuan informasi pemilik manfaat melalui tindakan-tindakan berlapis.

"Perusahaan seringkali menggunakan corporate vehicle, antara lain shell companies (perusahaan cangkang) atau nominees, itu yang buat susah," ujar Yasonna, dalam keterangan tertulis.

Selanjutnya, terkait dengan hal tersebut, Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham telah menginisiasi sistem aplikasi pendaftaran BO. Faktanya, aplikasi ini belum secara efektif mengidentifikasi penerima manfaat dari setiap perusahaan. Nevey mengatakan bahwa aplikasi tersebut masih sederhana.

"Hanya sebatas pengisian data pemilik manfaat, bukan pada verifikasi data tersebut," ujar Nevey dalam Presentasi Evaluasi Penerapan Beneficial Owner (BO) pekan lalu.

Aplikasi ini dinilai tidak cukup jika tidak didukung sanksi yang memaksa perusahaan untuk mencantumkan penerima manfaat. Pasalnya, beberapa perusahaan menerapkan shareholders agreement (perjanjian pemegang saham), di mana data pemilik saham tidak dapat dibuka.

"Jadi sama saja, database-nya nanti tidak akan akurat," terang Nevey.

Selain itu, Nevey juga mengoreksi pelaksanaan integrasi data antarkementerian untuk mengetahui penerima manfaat perusahaan. Pada Juli lalu, KPK dan enam kementerian telah menandatangani MoU Kerja Sama Penguatan Basis Data Penerima Manfaat.

Enam kementerian tersebut terdiri dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Faktanya sampai sekarang belum ada pertukaran data atau informasi yang berarti untuk mengatasi isu ini. Integrasi data perusahaan untuk keperluan online single submission (OSS) dengan BKPM dinilai tidak cukup.

"Harus ada integrasi data dengan Kementerian ESDM, Kemendagri dan Kemenkeu," saran Nevey.

Mengutip laman EITI, pemerintah telah menetapkan tiga tahap untuk mengatasi identifikasi BO. Tahun 2017 dimulai dengan penetapan definisi BO dilanjutkan dengan pembentukan regulasi di 2018.

Tahap terakhir yaitu 2019, ditargetkan menjadi tahun implementasi kebijakan. Balitbangkumham berharap, riset ini mampu menjadi patokan sekaligus evaluasi dalam implementasi pengenalan BO di Indonesia.

(Humas Balitbang Hukum dan HAM) (adv/adv)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER