Potret 'New Normal' Korsel akibat Corona

CNN Indonesia
Jumat, 15 Mei 2020 12:30 WIB
Workers wearing protective gears spray disinfectant as a precaution against the coronavirus at a subway station in Seoul, South Korea, Friday, Feb. 21, 2020. South Korea on Friday declared a "special management zone" around a southeastern city where a surging viral outbreak, largely linked to a church in Daegu, threatens to overwhelm the region's health system. (AP Photo/Ahn Young-joon)
Ilustrasi pandemi virus corona di Korea Selatan. (AP Photo/Ahn Young-joon)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Korea Selatan secara bertahap memasuki fase kehidupan baru atau new normal akibat pandemi virus corona (Covid-19).

Sampai Rabu (13/5), tercatat virus tersebut telah menginfeksi 10.962 orang di Negeri Ginseng.

Meski tren penularan virus corona cenderung stagnan bahkan menurun, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in tak ingin gegabah. Ia menegaskan ancaman penularan corona belum berakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Moon memperingatkan seluruh masyarakatnya untuk tidak terlena dan tetap mematuhi pedoman kesehatan, meski aktivitas kehidupan perlahan kembali berjalan seperti biasa.

"Kepada seluruh warga Korsel, kita telah memenangkan perang melawan virus dan memasuki fase stabilisasi. Namun, perlu diingat ini bukan berarti kita kembali ke masa sebelum wabah Covid-19 menerjang," kata Moon dalam pidatonya yang disiarkan di televisi nasional Korsel pada 10 Mei lalu.


"Kita sekarang telah beralih memasuki kehidupan normal baru di mana tindakan pencegahan terhadap virus dan aktivitas sehari-hari harus berjalan beriringan," paparnya menambahkan.

Korsel menjadi salah satu negara yang merasakan dampak cukup berat di masa awal pandemi virus corona. Bahkan jumlah korban di negara itu sempat berada pada posisi tertinggi kedua di dunia di bawah China

Virus mematikan itu pertama kali tersebar di kota Wuhan, China. Namun, pemerintahan Moon dinilai berhasil menahan laju penularan dengan cepat dan efektif, bahkan tanpa menerapkan kebijakan penguncian wilayah (lockdown) seperti yang dilakukan beberapa negara.

Korsel mengandalkan pemeriksaan dan pelacakan kontak secara massal, terutama di kawasan yang pusat penularan.

Strategi ini tampak berhasil bagi Negeri Ginseng. Dalam waktu kurang lebih tiga bulan, jumlah kasus di Korsel semakin menurun dan saat ini berada pada posisi ke-41 di dunia.

Korsel bahkan memberanikan diri untuk tetap menggelar pemilihan umum legislatif pada 15 April lalu, dan ternyata antusiasme warga untuk pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) tetap besar meski dihantui ancaman penularan corona.

[Gambas:Video CNN]

Tingkat partisipasi warga Korsel dalam pemilu legislatif kemarin bahkan menjadi yang tertinggi dalam 28 tahun terakhir yakni sebesar 66,2 persen.

Melansir NBC News, di sebuah tempat pemungutan suara di distrik Seongdong, Seoul, para warga yang ingin menggunakan hak pilihnya terlihat mengantre dengan tetap menggunakan masker dan menjaga jarak.

Saat itu, sebelum memasuki TPS, para penduduk diminta untuk mencuci tangan menggunakan cairan pembersih atau hand sanitizer dan suhu badan mereka diukur. Para pemilih juga diberikan sarung tangan sekali pakai untuk digunakan sebelum memasuki bilik suara dan mencoblos.

Sesekali terdengar panitia TPS meminta para pemilih untuk menjaga jarak aman. Sebanyak 14.330 TPS di seluruh Korsel juga disemprot cairan desinfektan terlebih dahulu.

"Sepertinya menjaga jarak, mencuci tangan, dan masker akan menjadi bagian dari kehidupan normal baru setelah pandemi berlangsung. Orang-orang menjadi lebih awas terhadap kebersihan karena kehidupan kita tidak bisa menunggu sampai virus benar-benar hilang," ucap seorang pemilih, Song Soo-rim.

Warga Korsel bahkan telah membuat istilah baru, yakni "everyday quarantine", untuk menggambarkan kehidupan selama dan pasca-pandemi.

"Mencuci tangan dan membersihkan kenop pintu menjadi rutinitas bagi setiap keluarga sekarang. Tidak ada yang aneh lagi. Itu semua menjadi normal layaknya kita memakai sepatu dan kaus kaki di pagi hari," kata Seo Sun-jae, seorang ibu rumah tangga di Samseon-dong.

Sebagian warga merasa cukup lega lantaran bisa kembali beraktivitas hingga bekerja setelah vakum akibat pandemi. Namun, beberapa orang lainnya merasa kebiasaan baru ini tidak mudah dijalani, terutama bagi seorang karyawan sebuah organisasi kemanusiaan di Korsel seperti Min Shin-hye.
Penggemar bisbol di Korea Selatan mengintip sesi latihan tim favorit mereka, usai pelonggaran pembatasan pergerakan. (AP/Lee Jin-man)
Min mengatakan konsep bekerja dari rumah atau jarak jauh membuatnya cukup was-was. Ia menggambarkan dirinya sebagai budak pesan instan saat bekerja dari rumah.

"Jika saya tidak merespons atasan saya secara cepat, saya khawatir dianggap malas atau terganggu. Selain itu, jam kerja juga jadi berantakan," kata Min.

Ia mengatakan sering kali harus bekerja hingga waktu jam makan malam terlewat. "Karena tidak ada perbedaan antara bekerja dan kehidupan biasa," tuturnya.

Kebiasaan baru ini berimbas terhadap seluruh sektor dan bidang kehidupan, termasuk kegiatan beribadah. Para jemaat Katedral Seoul tak bisa lagi menyanyikan lagu-lagu pujian secara lantang lantaran khawatir menyebarkan percikan air liur atau droplet yang menjadi salah satu media penularan virus corona.

Para pastur gereja diwajibkan mencuci tangan mereka sebelum memimpin misa. Air suci juga tak lagi disediakan di gereja.

Awal April lalu, pemerintah Korsel membentuk sebuah komite baru yang terdiri dari pejabat pemerintah, ahli medis dan kesehatan, serta para cendekiawan yang ditugaskan menyusun pedoman keamanan publik menjelang kehidupan "new normal".


"Kami sedang membuat standar dan budaya baru yang bisa diterapkan di masyarakat. Ke depan, kita semua harus bisa mengubah dan beradaptasi dengan budaya baru seperti cara kita bertemu orang, bekerja, belajar, dan berinteraksi bahkan dengan anggota keluarga kita sendiri," kata Wakil Menteri Kesehatan Korsel Kim Gang-lip. (rds/ayp)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER