Pemerintah Akui Aturan Perlindungan ABK WNI Berantakan

CNN Indonesia
Kamis, 14 Mei 2020 20:21 WIB
Kapal ikan ilegal asal Malaysia yang ditangkap kapal pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, di perairan ZEEI Selat Malaka pada 7 Juni 2015. (Dok. Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Ilustrasi kapal ikan asing. (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, mengakui peraturan perlindungan terhadap pekerja imigran Indonesia terutama anak buah kapal (ABK) pelaut dan kapal ikan masih berantakan.

Hal itu disinggung dalam webinar yang digagas Indonesia Ocean Justice Initiative terkait perlindungan ABK WNI di kapal ikan asing, Kamis (14/5).

Tak hanya aturan yang tumpang tindih, Benny menuturkan pengaturan tata kelola dan kewenangan dari mulai proses perekrutan hingga penempatan juga masih belum jelas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Carut marutnya persoalan tata kelola ABK itu disebabkan tidak adanya kejelasan dan ketegasan dalam pengaturan pembagian kewenangan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK baik antara lembaga pemerintah maupun pihak-pihak lainnya yang berhak melakukan penempatan," ujar Benny.


Sebagai contoh, Benny mengungkit banyak pihak yang bisa mengeluarkan surat izin penempatan ABK, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).

Tak hanya soal penempatan, Benny mengatakan antara lembaga dan kementerian belum memiliki data terpadu yang terintegrasi, termasuk pihak ketiga, terkait perekrutan dan penempatan ABK di luar negeri.

Ketidakjelasan tata kelola penempatan dan perlindungan ABK ini, ujar Benny, turut mempersulit pemerintah sendiri dalam menangani kasus yang menimpa para pelaut dan nelayan Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing.

Menurut Benny, pemerintah perlu segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Perikanan pada pasal 64 Undang-Undang No.18/Tahun 2017. Peraturan itu, paparnya, seharusnya terbit paling lambat 22 November 2019 lalu.

Benny menegaskan PP tersebut harus memuat aturan yang sangat jelas dan rinci mengenai tahap perekrutan hingga penempatan ABK seperti batas usia minimal di atas kapal, standar jam kerja, pemeriksaan medis ABK secara berkala di atas kapal, penentuan standar Perjanjian Kerja Laut sesuai prinsip HAM, standar nilai upah ABK, pelatihan serta sertifikasi keselamatan kerja di atas kapal, hingga jaminan kesehatan dan sosial bagi ABK.


Berkaca pada Kasus Benjina

Aturan tumpang tindih juga diakui pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards, Marzuki Darusman.

Marzuki, yang merupakan mantan ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Korea Utara, berharap pemerintah dapat mencontoh kasus perdagangan orang di Benjina, Maluku, pada 2015.

"Pemerintah Indonesia harus menggunakan pendekatan HAM dalam memperkuat perlindungan ABK. Lima tahun lalu terungkap kasus perbudakan ABK dan perdagangan orang di Benjina, Maluku, yang menjadi sorotan dunia."

"Ini kemudian mendorong pemerintah mengambil langkah yang sangat fundamental dalam HAM untuk mengatasi eksploitasi dalam industri perikanan," kata Marzuki yang merupakan mantan Jaksa Agung RI periode 1999-2001 dalam presentasinya.

Marzuki menuturkan kasus Benjina berhasil mendorong pemerintah lebih memperhatikan penegakan HAM ABK nelayan.


Pada 2015, di tahun yang sama dengan pengungkapan kasus perbudakan ABK di Benjina, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastuti, langsung menerbitkan peraturan menteri Nomor 35/Permen-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.

Marzuki menuturkan peraturan itu mengharuskan seluruh kapal ikan yang beroperasi di Indonesia memiliki sertifikasi HAM.

Peraturan tersebut mewajibkan industri perikanan memenuhi kondisi kerja yang adil dan layak bagi pekerja, termasuk hidup layak, akomodasi, makan dan minum, pengobatan, asuransi jaminan sosial, perlindungan risiko kerja, serta hak khusus lainnya.

Pengusaha perikanan juga wajib menghindari terjadinya kerja paksa dalam bentuk penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, pengasingan, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas, penahanan upah, jeratan utang, kondisi kerja dan kehidupan yang menyiksa, serta kerja lembur yang berlebihan.

"Sertifikasi yang dikembangkan oleh KKP ini merupakan suatu prakarsa yang unik di dunia yang diprakarsai oleh menteri Susi waktu itu. Instrumen hukum ini seharusnya bisa diperkuat dan diperluas jangkauannya sehingga bisa mencakup perlindungan ABK WNI di kapal asing juga," kata Marzuki.

Penguatan perlindungan ABK kembali menjadi perhatian setelah terungkap bahwa puluhan WNI yang bekerja di empat kapal ikan berbendera China diduga mengalami eksploitasi hingga perbudakan.

[Gambas:Video CNN]

Dugaan eksploitasi itu pertama terungkap dari laporan media Korea Selatan, MBC. Stasiun televisi tersebut pertama kali menerima informasi dugaan eksploitasi dari laporan sejumlah WNI ABK yang bekerja di suatu kapal ikan berbendera China.

Dalam kesaksian kepada MBC, sejumlah WNI ABK mengaku bekerja hingga 18 jam lebih dalam sehari, tidak diberi makanan layak, waktu istirahat yang minim, hingga pemberian upah yang tidak sesuai kontrak.

Sebanyak empat WNI ABK juga dikabarkan meninggal dunia di atas kapal karena sakit, salah satunya bernama Ari (24). Jasadnya dibuang begitu saja di tengah laut dengan upacara seadanya.

"Semoga ada upaya ke depannya untuk menarik perhatian presiden bahwa masalah ini perlu prioritas tinggi. Suatu ironi bagi Indonesia yang merupakan negara maritim besar seperti yang kita kerap gaungkan tetapi hal-hal yang begitu fundamental (terkait kemaritiman) belum dilakukan pemerintah secara serius, terutama dalam melindungi ratusan ribu ABK WNI yang bekerja di luar negeri," ujar Marzuki. (rds/ayp)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER