Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi Timur Tengah kini semakin menghangat setelah Perdana Menteri
Israel,
Benjamin Netanyahu, menggulirkan wacana pencaplokan
Tepi Barat.
Gagasan yang digulirkan Netanyahu dalam kampanye ketiga sebelum dilantik kembali kini harus dia wujudkan pada 1 Juli mendatang, walau sampai saat ini belum terlihat rancangan peta jalan rencana yang dimaksud. Sebab hal itu yang dinantikan sekutu politiknya yang menjadi faksi kelompok sayap kanan.
Meski begitu, ide tersebut memicu perdebatan di kalangan penduduk Israel. Bagi mereka yang menganut paham konservatif, aksi pencaplokan tidak perlu terjadi karena mereka menganggap Tepi Barat beserta isinya memang milik bangsa Yahudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan mereka yang berpaham progresif, liberal dan sayap kiri menyatakan langkah itu bakal melanggar hukum internasional.
Di sisi lain, dukungan dari penduduk Israel soal pengambilalihan wilayah Yudea dan Samaria semakin meningkat. Namun, 58 persen dari mereka juga khawatir langkah itu bisa memicu pergolakan baru dari bangsa Palestina.
"Kalau terjadi kerusuhan bangsa Palestina tidak bisa dianggap sebagai harga yang harus dibayar akibat aneksasi. Kami bisa mengatasinya," kata anggota parlemen Israel (Knesset) dari Partai Likud, Uzi Dayan.
Dayan adalah mantan komandan pasukan khusus yang kini mengepalai Dewan Keamanan Nasional Israel. Dia mengutip kitab suci bahwa pencaplokan Tepi Barat juga berkaitan dengan masalah pertahanan.
"Sungai Yordania adalah batas Israel sejak Nabi Yusha (Joshua) melintasinya yang berseberangan dengan Yerikho (Jericho) dalam perjalanannya untuk merebut Kanaan. Sejak itu Sungai Yordania menjadi batas kerajaan Israel. Dan tentu saja hal itu menjadi pertahanan terhadap ancaman terorisme," kata Dayan, seperti dikutip dari
Middle East Eye, Kamis (11/6).
Pemikiran Dayan tidak sama dengan Gilead Sher. Pensiunan tentara berpangkat kolonel itu justru merasa wacana pencaplokan bakal menjadi bencana.
"Para petinggi badan keamanan menganggap aneksasi adalah petaka. Satu hal yang pasti bahwa langkah yang akan berdampak secara nasional dan internasional ini diambil bukan karena kepentingan negara, tetapi lebih kepada kepentingan politik penguasa saat ini," kata Sher yang kini menjadi peneliti senior Institut Kajian Keamanan Nasional (INSS) dan Institut Baker di Houston, Texas, Amerika Serikat.
Bahkan Kepala Badan Keamanan Dalam Negeri Israel (Shin Bet), Yoram Cohen, menyatakan momen untuk melakukan aneksasi Tepi Barat saat ini adalah kesalahan besar.
"Kenapa kita melakukannya? Apakah karena ideologi?," ujar Cohen.
Israel menduduki Tepi Barat setelah memenangkan Perang Enam Hari pada 1967. Di sana mereka terus membangun permukiman untuk penduduknya yang tidak diakui oleh mayoritas negara di dunia.
Akan tetapi, Netanyahu bisa melanjutkan rencananya dengan berlindung di balik tabir pandemi virus corona. Sebab, saat ini perhatian negara lain, bahkan yang menjadi seteru mereka, tengah terpecah dalam menangani wabah Covid-19.
Meski begitu, muncul kecurigaan hal ini sengaja dijadikan umpan oleh Netanyahu untuk meraih kekuasaan, guna melindungi dirinya karena tersangkut sejumlah perkara korupsi. Bahkan ada penilaian bahwa Netanyahu sengaja membiarkan wacana itu bergulir dan berharap ada sebuah hambatan besar yang membuat rencana itu batal di menit terakhir.
Jika hal itu terjadi maka Netanyahu masih bisa tetap berkuasa dan menggunakannya sebagai tameng dari proses peradilan. Meski begitu, bukan berarti posisinya tidak bakal terusik. Kelompok oposisi di Israel kemungkinan juga tidak akan tinggal diam.
Seteru Netanyahu yang kini didapuk menjadi Menhan dan akan berbagi masa kepemimpinan sebagai PM, Benny Gantz, serta Menteri Luar Negeri Gabi Ashkenazi nampaknya juga tidak sepenuhnya mendukung rencana aneksasi. Sebagai mantan jenderal mereka juga memahami peta risiko dan harga yang harus dibayar jika hal itu dilakukan.
Bahkan mendiang perdana menteri Ariel Sharon yang dikenal sebagai seorang garis keras saja menolak gagasan tersebut di masa lalu.
Peta politik di Timur Tengah juga perlahan berubah. Pengaruh Iran, Rusia dan Turki yang menjadi seteru Israel, semakin meluas. Tentara Rusia dan Iran yang disiagakan di Suriah, atau milisi binaan mereka, Hizbullah, yang berada di Libanon, bisa segera dikerahkan untuk meluncurkan serangan jika Netanyahu nekat melanjutkan rencana itu.
 Unjuk rasa penduduk Palestina di Ramallah, Tepi Barat. (AFP PHOTO / ABBAS MOMANI) |
Apalagi jika bangsa Palestina menyatakan perang dan terjadi gerakan intifadah seperti di masa lalu. Hal itu tentu akan merembet ke seluruh dunia.
Sebab negara-negara di sekitar Israel seperti Arab Saudi, Iran, Qatar dan Kuwait adalah pemasok sebagian besar cadangan energi di sejumlah negara.
Jika rantai pasokan terganggu akibat perang, maka tentu saja dalam hitungan hari atau pekan bisa dipastikan bakal ada efek berantai yang bisa memicu kekacauan.
Presiden Palestina, Mahmud Abbas, memutuskan seluruh perjanjian dengan Israel dan sudah mewanti supaya Netanyahu tidak melanjutkan rencana tersebut.
Sher pesimis jika pencaplokan Tepi Barat terjadi bakal menguntungkan Israel. Malah dia meyakini jika hal itu dilakukan maka akan membawa Israel mundur ke masa-masa sulit.
"Pencaplokan sepihak, seberapapun besar wilayahnya, adalah strategi yang keliru bagi Israel. Keliru secara politik, diplomasi, ekonomi dan pertahanan. Dengan membuat wacana pencaplokan untuk meneguhkan kedaulatan dan kepentingan pertahanan hanya upaya manipulasi," ujar Sher.
(middle east eye/ayp)
[Gambas:Video CNN]