Pemblokiran Internet di Rakhine Masuki Tahun Kedua

CNN Indonesia
Minggu, 21 Jun 2020 18:13 WIB
Sejumlah warga Rohingya beraktivitas di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9). Keadaan yang semakin memanas saat ini membuat masyarakat Rohingya di Sittwe semakin tertekan. ANTARA FOTO/Willy Kurniawan/wsj/foc/17.
Ilustrasi. Pemblokiran akses internet di Rakhine, Myanmar, memasuki tahun kedua. Pemblokiran meningkatkan kekhawatiran di tengah pandemi Covid-19. (ANTARA FOTO/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemblokiran akses internet di Rakhine, Myanmar, memasuki tahun kedua pada Minggu (21/6). Pemblokiran dilakukan untuk membatasi gerak pemberontak Arakan Army di wilayah tersebut.

Melansir AFP, pada awal Juni lalu, pejabat pemerintah menyebutkan bahwa pemblokiran akses internet akan berlanjut setidaknya hingga 1 Agustus mendatang. Perusahaan telekomunikasi juga mengaku telah diminta untuk melakukan pemblokiran untuk mencegah kegiatan ilegal.

Sejak Januari 2019, militer Myanmar telah terlibat perang saudara melawan Arakan Army, kelompok pemberontak yang memperjuangkan otonomi bagi umat Buddha etnis Rakhine.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk membatasi gerak para pemberontak, pemerintah pun menutup akses internet di sejumlah kota di negara bagian Rakhine pada 21 Juni 2019. Penutupan ini sempat menyebabkan kepanikan di antara penduduk yang putus asa untuk mendapatkan informasi tentang kerusuhan yang terjadi.

Pada Jumat (19/6) lalu, Human Rights Watch (HRW) menyerukan agar pemerintah segera mengakhiri pemadaman internet terpanjang yang pernah diberlakukan ini. Pemblokiran dirasa begitu mengkhawatirkan, apalagi saat ini dunia tengah dilanda pandemi Covid-19.

"Sangat penting bagi warga sipil mendapatkan informasi yang diperlukan untuk tetap aman selama pandemi," kata Linda Lakhdhir, selaku perwakilan dari HRW.

Sejauh ini, Myanmar telah mencatat 287 kasus positif infeksi virus Corona (Covid-19), termasuk di antaranya enam kematian yang diakibatkan. Namun, para ahli khawatir bahwa angka yang rendah disebabkan oleh tes massal atau pengujian yang tidak dilakukan secara masif.

Hanya sedikit warga Myanmar yang memiliki komputer pribadi. Mayoritas dari mereka bergantung pada ponsel dan akses internet untuk keperluan komunikasi dan informasi. Mereka yang tak mendapatkan akses internet dinilai sangat rentan terhadap Covid-19.

Abdullah, seorang warga Rohingya di Rakhine, mengaku ingin mengetahui lebih banyak informasi mengenai Covid-19. Tak tersedianya akses internet membuat Abdullah tertinggal banyak informasi terkait pandemi.

"Kami ingin mengetahui lebih banyak informasi mengenai Covid-19. Apa yang terjadi pada orang-orang terlantar di Sittwe [ibu kota Rakhine] dan apa yang terjadi di Bangladesh," kata Abdullah.

Abdullah menambahkan, kini dia bersama yang lain juga tengah berjuang untuk menghubungi kerabat atau bahkan mengirimi uang.

Tak tersedianya akses internet juga dikeluhkan oleh Aung Win, seorang guru di Kota Buthidaung. Win mengaku tak dapat mengakses pelajaran yang diberikan Departemen Pendidikan setempat.

"Kami hanya ingin internet kembali sesegera mungkin," kata Win.

(agn/asr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER