Penggemar K-pop dan pengguna aplikasi TikTok mendadak diperbincangkan di jagat politik Amerika Serikat.
Penyebabnya adalah mereka dilaporkan melakukan sabotase terhadap kampanye calon presiden petahana AS dari Partai Republik, Donald Trump, di Tulsa, Oklahoma, pada akhir pekan lalu.
Menurut tim sukses Trump, jumlah tiket yang dipesan dalam kampanye tersebut mencapai lebih dari satu juta. Namun, kenyataannya hanya sekitar 6.200 orang yang hadir.
Ternyata, para fans K-pop dan pengguna TikTok sukses menggembosi perhelatan politik Trump yang diharapkan menjadi pembukaan rangkaian kampanye pemilihan presiden 2020 yang meriah.
Beberapa hari sebelum digelar, di TikTok beredar video yang meminta para penggemar grup musik K-pop dari Korsel, BTS, untuk terlibat dalam rencana itu. Di jagat Twitter, BTS tercatat mempunyai pengikut sebesar 21 juta akun. Ternyata ajakan itu didukung dan hasilnya bisa terlihat dari jejeran bangku kosong di Gedung Pertemuan BOK.
Tentu saja hal ini mencoreng Trump dan membuat citra buruk di awal kampanye. Belum diketahui apakah kampanye Trump di Orlando di Pewaukee, Wisconsin, bakal bernasib sama.
Di sisi lain, K-pop yang bisa menjelma menjadi gerakan politik adalah fenomena unik yang menarik diulas, terutama jika dibandingkan dengan para penggemar jenis musik lain.
Seperti dilansir AFP, peneliti K-pop dari Universitas Indiana, CedarBough Saeji, menyatakan massa K-pop senantiasa bergerak dengan kesadaran politik.
"Penggemar K-pop secara umum adalah orang-orang yang optimis dan mempunyai kesadaran sosial. K-pop di AS sangat digandrungi oleh penduduk dengan kulit berwarna, dan mereka yang dicap LGBTQ," kata Saeji.
Selain itu, kata Saeji, para artis K-pop memang dijadikan panutan dan menginspirasi para penggemarnya.
Meski banyak penggemar kerap mengirim benda-bendar kepada artis K-pop kegemaran mereka, tetapi sang artis meminta supaya mereka menyumbang kepada lembaga-lembaga sosial.
BTS dilaporkan menyumbang US$1 juta untuk mendukung gerakan Black Lives Matter. Para penggemar mereka yang kerap menggelar aksi sosial yang bernama One, dan menjadi bagian dari kelompok penggemar BTS, ARMY, juga tidak mau kalah dan membuka aksi sumbangan dan berhasil mengumpulkan donasi yang nilainya sama dengan yang diberikan artis idola mereka.
Di balik histeria, para penggemar K-pop ternyata memang mempunyai kesadaran politik. Menurut Saeji, lirik-lirik lagu grup K-pop yang bertema positif menjadi pemicu para penggemarnya untuk melakukan gerakan berdasarkan nilai-nilai dan kepekaan sosial.
"K-pop menarik bukan cuma menarik mereka yang menggemari musik ini, tetapi juga menitipkan pesan kepada mereka untuk membuat dunia ini lebih baik," ujar Saeji.
Dua tahun lalu, BTS bahkan didapuk berpidato di hadapan perwakilan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan meminta muda-mudi untuk terus melakukan hal-hal positif di dalam hidup mereka.
"Lagu-lagu BTS berperan memotivasi kita untuk selalu percaya diri, saling menyayangi dan mengasihi sesama," ujar Dawnica Nadora (27), salah satu anggota One di AS.
"Kami sangat beruntung bahwa ARMY di seluruh dunia saling mendukung satu sama lain, meski kita terpisah jarak ribuan kilometer," ujar Nadora.
Para penggemar K-pop juga adalah orang-orang yang aktif dan mengerti cara kerja dunia maya. Maka tidak heran perpaduan tersebut menjadikan mereka kekuatan politik yang sulit disaingi di ranah Internet.
"Para penggemar K-pop selalu online setiap saat. Mereka sangat aktif di Twitter," kata Saeji.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saeji mengatakan aksi sabotase terhadap kampanye Trump membuat kekuatan penggemar K-pop tidak bisa dianggap remeh.
"Mereka sengaja mengkorupsi seluruh data yang coba dikumpulkan oleh tim sukses Trump. Yang menjadi tujuan adalah mereka ingin memperlihatkan kepada tim sukses bahwa Anda tidak akan bisa mempercayai angka-angka tersebut di masa mendatang. Ini adalah kekuatan tersendiri," ujar Saeji.
Terlepas dari hal itu, Saeji menyatakan gerakan penggemar K-pop di Internet menjadi bukti bahwa kaum muda masa kini masih bisa membuat perubahan supaya dunia menjadi lebih baik.
"Jika mereka meyakini bisa membuat perbedaan, maka mereka juga akan meyakini menggunakan hak suara akan sangat berarti," ujar Saeji.