Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus menyatakan kerisauannya terkait keputusan Turki untuk mengubah museum Hagia Sophia menjadi masjid.
Ini adalah pernyataan pertama gereja Katolik Roma menyusul perubahan status Hagia Sophia itu. Suara Paus ini menambah deretan kecaman internasional atas keputusan Turki untuk mengubah landmark Istanbul itu.
"Aku memikirkan Hagia Sophia, dan aku sangat sedih," kata Paus Francis menjelang akhir khotbah tengah hari di Lapangan Santo Petrus, Minggu (12/7), seperti dikutip AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surat kabar Vatikan Osservatore Romano pada hari Sabtu memuat reaksi dari berbagai negara terhadap keputusan Turki itu. Namun, laporan itu tidak disertai komentar Paus.
Hagia Sophia pertama kali dibangun 1.500 tahun yang lalu sebagai katedral di Kekaisaran Bizantium Kristen. Namun, bangunan ini dikonversi menjadi masjid setelah penaklukan Ottoman Konstantinopel pada tahun 1453. Baru pada 1935, pemerintahan sekuler Turki mengubahnya menjadi museum.
Pada Jumat (10/7), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan warga Muslim bisa beribadah di bangunan itu mulai 24 Juli. Kritik pun mewarnai keputusan perubahan status salah satu situs Warisan Dunia UNESCO itu. Kritikus menyebut Erdogan telah mencoreng pilar sekuler di negara dengan penduduk mayoritas Muslim itu.
Beberapa pemimpin Kristen lainnya sudah menentang keputusan Turki. Uskup Hilarion, yang mengepalai departemen Gereja Ortodoks Rusia untuk hubungan gereja eksternal, menggambarkannya sebagai "pukulan bagi Kekristenan global".
Dewan Gereja Dunia, yang mewakili 350 gereja Kristen, mengatakan telah menulis kepada Erdogan untuk mengungkapkan "kesedihan dan kecemasan" mereka.
Kepala Gereja Ortodoks Yunani, Uskup Agung Ieronymos, pada hari Minggu mengecam apa yang ia gambarkan sebagai "instrumentalisasi agama untuk tujuan partisan atau geopolitik".
![]() |
"Kemarahan dan kesombongan tidak hanya menyangkut Gereja Ortodoks dan Kekristenan tetapi semua umat manusia yang beradab ... terlepas dari agama," tambahnya.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Yunani Lina Mendoni mengambil pandangan yang sama, menyebut keputusan Turki "sebuah provokasi ke dunia beradab".
Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis juga mengutuk langkah itu, tidak hanya untuk kerusakan yang akan terjadi pada hubungan antara Yunani dan Turki, tetapi hubungan Ankara dengan "Uni Eropa, UNESCO dan komunitas dunia".
Transformasi Hagia Sophia mendominasi berita utama di surat kabar Yunani akhir pekan ini. Surat kabar Kathimerini menekankan dimensi politis dari keputusan Turki, yang dikatakannya secara efektif menggarisbawahi akar sekuler Turki modern dan menunjukkan "megalomania Erdogan".
Meski ramai dihujani kecaman dunia, Erdogan menolak protes dari Rusia, Amerika Serikat, Prancis dan UNESCO, Sabtu (11/7).
"Mereka yang tidak mengambil langkah melawan Islamofobia di negara mereka sendiri ... menyerang keinginan Turki untuk menggunakan hak-hak kedaulatannya," katanya.
Di masa lalu, ia berulang kali meminta agar bangunan yang menakjubkan itu diubah kembali menjadi masjid. Pada 2018, ia pun sempat membacakan sebuah ayat dari Alquran di Hagia Sophia.
Pengumuman Erdogan datang setelah pengadilan tinggi Turki membatalkan keputusan kabinet 1934 di bawah pendiri sekularis Turki modern Mustafa Kemal Ataturk. Saat itu, pemerintah Turki memutuskan untuk melestarikan masjid itu sebagai museum.
(eks)