Kaisar Jepang, Naruhito, mengikuti jejak ayahnya, Akihito, dengan menyatakan sangat menyesalkan penderitaan yang harus dialami berbagai pihak dalam Perang Dunia II.
Akan tetapi, berbanding terbalik dari Naruhito, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, sama sekali tidak menyampaikan penyesalan atau ucapan maaf atas aksi militer Jepang pada PD II.
"Berkaca dari masa lalu dan selalu terngiang rasa penyesalan yang amat dalam di dalam lubuk hati saya, saya sangat berharap bahwa kekejaman perang tidak akan terulang," kata Naruhito saat membacakan pidato dalam kegiatan peringatan ke-75 kekalahan Jepang dalam PD II di Tokyo, seperti dilansir Associated Press, Minggu (16/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sikap Naruhito sama dengan ayahnya yang menyampaikan permohonan maaf atas penaklukan dan penjajahan oleh militer Jepang di masa PD II, yang saat itu dilakukan di era pemerintahan sang kakek, Hirohito. Jepang menyatakan menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945.
Upacara peringatan itu dihadiri 500 orang karena pembatasan akibat pandemi virus corona. Mereka hanya melakukan mengheningkan cipta dan tidak melantunkan lagu kebangsaan Kimigayo.
Di sisi lain, pidato Abe tidak menyampaikan rasa penyesalan dan permohonan maaf saat peringatan kekalahan Jepang. Padahal, tradisi itu sudah berjalan selama dua dasawarsa dimulai dari masa pemerintahan PM Tomiichi Murayama pada 1995.
Abe hanya menyatakan perdamaian yang dirasakan Jepang saat ini adalah hasil pengorbanan para prajurit mereka di masa lalu. Dia hanya mengatakan Jepang akan mengambil pelajaran dari sejarah dan tidak bakal mengalami penderitaan akibat perang.
Selain itu, Abe hanya menyitir sejumlah peristiwa yang dinilai menjadi titik balik terhadap kehidupan masyarakat mereka, yakni pemboman Hiroshima dan Nagasaki menggunakan bom atom, pemboman Tokyo dan pertempuran dahsyat di Okinawa antara militer Jepang dan Sekutu.
Sikap Abe dinilai hendak memoles citra Jepang dan mengubur kekejaman yang dilakukan pasukan mereka ketika PD II. Apalagi saat ini pemerintahan Abe tengah berupaya melakukan amandemen undang-undang dasar untuk memperluas kemampuan militer mereka, dengan dalih harus menghadapi ancaman dari Korea Utara dan China.
Dalam peringatan itu, Abe juga tidak mendatangi Kuil Yasukuni dan hanya mengirim perwakilan. Diduga hal itu dilakukan supaya tidak memicu kemarahan dari China dan Korea Selatan, sebab kuil itu dinilai sebagai simbol militerisme Jepang.
"Kami yang memutuskan bagaimana harus menghormati mereka yang meninggal saat berperang. Hal ini tidak harus menjadi persoalan diplomatik," kata Menteri Dalam Negeri Jepang, Sanae Takaichi.
(associated press/ayp)