Pengakuan Muslim Uighur Dipaksa Pisah dengan Anak-anak Mereka

CNN Indonesia
Rabu, 24 Mar 2021 19:54 WIB
Tindakan keras China terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang dilaporkan telah memisahkan ribuan anak dari orangtuanya.
Ilustrasi aksi bela Uighur. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Terlepas dari kesulitan yang mereka hadapi, Mihriban dan Ablikim mengatakan mereka tidak akan berhenti berusaha demi anak-anaknya.

"Saya tidak akan pernah menyerah sampai saya membawa kembali anak-anak saya dengan selamat dan bergabung kembali dengan keluarga saya," kata Mihriban.

Sementara Ablikim mengajukan permohonan langsung terakhir kepada pemimpin China Xi Jinping, agar mengizinkan anak-anaknya terbang ke Italia dan bersatu kembali dengan orang tua mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Presiden China," kata Ablikim. "Aku hanya ingin kamu membawa anak-anakku kembali."

Dalam sebuah laporan yang dirilis Maret, lebih dari 50 ahli hukum internasional menyebut pemindahan anak-anak China dari keluarga Uighur sebagai pelanggaran Konvensi Genosida PBB.

Di bawah konvensi tersebut, "memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok (etnis) ke kelompok lain" dianggap sebagai tindakan genosida, jika dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok yang dilindungi. Para ahli menemukan hal itu terjadi di Xinjiang.

Berdasarkan dokumen pemerintah China yang tercantum dalam laporan itu, antara 2017 dan 2019, jumlah anak yang dipisahkan dari keluarga mereka di Xinjiang dan ditempatkan di sekolah berasrama meningkat 76,9 persen. Dari yang tadinya di bawah 500 ribu  menjadi 880.500 anak.

Sejarawan Uighur, sekaligus dosen senior di Universitas Manchester Rian Thum, mengatakan penempatan anak-anak di panti asuhan yang dikelola negara adalah bagian dari strategi pemerintah China untuk mencoba mengasimilasi populasi Uighur.

"Ini adalah kebijakan yang tersebar luas secara konsisten, mereka memiliki terminologi khusus untuk itu," kata Thum.

"Kami melihatnya tak hanya di satu atau dua area, kami dapat melihatnya di seluruh wilayah Uighur."

Pemerintah China membantah telah berusaha menghapus budaya Uighur, dengan mengatakan mereka menghormati semua etnis dan agama minoritas China.

Pada konferensi pers di bulan Februari, juru bicara pemerintah Xinjiang mengatakan ada berbagai alasan mengapa orang Uighur di luar negeri mungkin kehilangan kontak dengan kerabat mereka di rumah, termasuk bahwa mereka mungkin "tersangka kriminal dalam tahanan polisi."

"Jika Anda tidak dapat menghubungi kerabat Anda di Xinjiang, Anda harus menghubungi kedutaan atau konsulat China terdekat. Kami akan bekerja dengan mereka untuk memberikan bantuan," katanya.

Tetapi wawancara CNN dengan kedua kelompok anak-anak tersebut menggambarkan keamanan yang ketat dan tekanan luar biasa setiap hari.

Laporan terbaru yang dirilis, Amnesty International memperkirakan mungkin ada ribuan keluarga Uighur seperti keluarga Mamutjan di seluruh dunia, orang tua dan anak-anak yang telah dipisahkan selama bertahun-tahun akibat cengkeraman pemerintah China yang semakin ketat di Xinjiang.

Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping minoritas Muslim di Xinjiang diduga telah menjadi sasaran program penahanan massal yang direkayasa pemerintah, indoktrinasi paksa, dan bahkan sterilisasi.

Menurut laporan Amnesty International, beberapa orang tua yang melarikan diri dari wilayah tersebut pada hari-hari awal penindasan tidak dapat bersatu kembali dengan anak-anak mereka. Yang lainnya, seperti Mamutjan, secara tidak sengaja mendapati diri mereka berada di seberang negara itu, dan sekarang takut kembali ke Xinjiang.

Alkan Akad, seorang peneliti China di Amnesty International, mengatakan pemisahan orang tua dan anak tidak semuanya kebetulan. Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi taktik yang disengaja oleh pihak berwenang.

"Pemerintah China ingin mendapatkan pengaruh atas populasi Uyghur yang tinggal di luar negeri, sehingga mereka dapat menghentikan mereka dari terlibat dalam aktivisme dan berbicara untuk keluarga dan kerabat mereka di Xinjiang," kata Akad, yang menulis laporan baru itu.

Berbicara pada jumpa pers pada 15 Maret, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang "tidak berdasar dan sensasional."

"Masalah yang berhubungan dengan Xinjiang sama sekali bukan masalah hak asasi manusia. Mereka pada dasarnya tentang melawan terorisme kekerasan, radikalisme dan separatisme," katanya.

(isa/dea)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER