Dua bulan lebih kudeta berlangsung, pemberontakan rakyat sipil terhadap junta militer Myanmar terus meluas ke segala penjuru negeri.
Di perkotaan, kaum muda, profesional, hingga pegawai negeri berbondong-bondong turun ke jalan, melakukan segala cara menyuarakan tuntutan mereka agar Myanmar bisa kembali demokratis.
Banyak dari para demonstran tak kembali ke rumah. Keringat dan perjuangan untuk negeri dibayar gas air mata hingga peluru tajam aparat keamanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data kelompok aktivis Asosiasi untuk Tahanan Politik (AAPP), setidaknya lebih dari 710 orang tewas dalam bentrokan aparat dan demonstran anti-kudeta sejak 1 Februari lalu.
Menurut laporan UN Children, 46 dari 700 korban tewas itu merupakan anak-anak.
Sekitar 3.000 orang juga telah ditahan aparat, di mana puluhan dari mereka telah divonis hukuman mati secara diam-diam oleh junta militer.
Sementara itu di pelosok, milisi etnis gencar melakukan perlawanan terhadap junta militer dengan menyerang pos-pos keamanan.
Setidaknya 10 kelompok milisi besar di Myanmar telah mendeklarasikan dukungan mereka terhadap pemberontakan rakyat ke militer.
Dua kelompok etnis berpengaruh di Myanmar, Karen National Union dan Kachin Independence Army, juga telah melakukan serangan terhadap aparat hingga memicu serangan udara balasan dari militer.
Pada Sabtu pekan lalu, gabungan sejumlah kelompok milisi etnis Myanmar menyerang kantor polisi negara bagian Shan dan menewaskan sepuluh orang aparat.
Tak hanya kantor polisi, bank militer juga menjadi sasaran penyerangan.
Hari Minggu kemarin terjadi ledakan bom di dekat sebuah bank milik militer Myanmar. Seorang petugas keamanan dilaporkan ikut terluka.
Kondisi itu semakin menimbulkan kekhawatiran bahwa perang saudara bisa terjadi di Myanmar.
Sejumlah pengamat internasional hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khawatir jika dibiarkan, kisruh kudeta ini akan menggiring Myanmar menuju perang sipil dan berakhir sebagai negara gagal (failed state).
"Sasaran Tatmadaw (militer Myanmar) kini bukan lagi hanya kelompok etnis minoritas, tapi sudah hampir seluruh populasi Myanmar yang dianggap melawan penguasa," kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kepada CNNINdonesia.com pada Kamis (15/4).
"Kalau terus dibiarkan, konflik ini bisa berubah menjadi perang sipil dan (Myanmar) berisiko menjadi negara gagal," ujarnya.
Kemungkinan perang sipil, kata Usman, semakin besar di Myanmar lantaran tidak ada satu pihak pun yang mau menahan diri.
![]() |
Usman menuturkan di satu sisi, warga sipil dan kelompok pemberontak terus melakukan perlawanan terhadap junta militer, sementara angkatan bersenjata terus menindak para penentang dengan kekerasan.
"Tidak ada point of return atau titik balik ke keadaan semula. Dan tampaknya tidak ada yang bisa menghentikan brutalitas Tatmadaw. Ini sebenarnya sepenuhnya ada pada kendali para jenderal Myanmar," ujarnya.
Menurut Usman, komunitas internasional tidak cukup mengandalkan sanksi dan tekanan dari negara Barat demi membuat militer Myanmar menyerah dan menghentikan kebrutalan mereka terhadap warga sipil.
Menurutnya butuh kolektivitas komunitas internasional untuk memutuskan respons yang sama terhadap perilaku junta militer Myanmar.
Usman berharap hal itu dapat dilakukan Indonesia dan ASEAN. Ia berharap Jakarta bisa kembali mendesak agar rapat darurat pemimpin ASEAN di Jakarta terkait situasi Myanmar bisa segera dilaksanakan.
Usman juga berharap Indonesia dan negara ASEAN lainnya berhenti "berlindung" di balik prinsip non-intervensi agar bisa tak melakukan apa pun untuk menindak tegas junta militer Myanmar.
"Prinsip ASEAN soal non-intervensi selama ini kerap disalahartikan dan menjadi pembenaran negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia, untuk tetap bersikap lembek terhadap isu pelanggaran HAM di kawasan," kata Usman.
Menurut Usman, non-intervensi itu memang prinsip yang terkandung dalam hukum internasional, di mana setiap negara tidak boleh ikut campur soal kedaulatan dan politik dalam negeri negara lainnya.
"Tapi, hukum internasional juga mengizinkan intervensi jika berhubungan dengan hal kemanusiaan dan ini yang jarang sekali digunakan negara-negara untuk melawan pelanggaran HAM," ujarnya menambahkan.