Hal senada juga diutarakan Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win. Menurut Kyaw, jauh sebelum kudeta berlangsung, cikal bakal perang sipil sudah terlihat lama di Myanmar, terutama terkait kesenjangan antara warga minoritas dan junta militer.
"Cikal bakal perang sipil memang sudah terlihat sejak lama, tapi kudeta ini menjadikan peluang ke arah sana (perang saudara) semakin besar di Myanmar," kata Kyaw.
Sebagai contoh, Kyaw menyinggung bentrokan antara militer dan milisi suku Kachin di utara Myanmar atau tentara Arakan Rohingya di Rakhine yang sudah lama terjadi jauh sebelum kudeta 2021 berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kelompok bersenjata negara bagian Shan (Shan State Army/SSA) dan pemberontak lainnya di Myanmar juga telah lama melawan militer demi mendapat hak dan otonomi yang lebih besar.
Berbicara dari pelosok perbatasan dekat Thailand, seorang pendiri SSA, Jenderal Yawd Serk, mengatakan kemungkinan perang sipil pecah saat ini semakin tinggi.
SSA menguasai sebagian besar wilayah di timur Myanmar. Kelompok itu merupakan salah satu dari puluhan kelompok etnis bersenjata yang telah puluhan tahun berperang melawan militer Myanmar atau kelompok lainnya untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar
"Dunia berubah. Saya melihat orang-orang di perkotaan tidak pantang menyerah. dan saya melihat pemimpin kudeta, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing, juga tidak ingin menyerah. Saya pikir ada kemungkinan perang sipil bisa terjadi," kata Yawd Serk seperti dikutip CNN.
Dan pada pekan lalu, tiga kelompok pemberontak di utara Myanmar yang menyebut diri mereka sebagai Aliansi Tiga Saudara, mengatakan bahwa jika militer Myanmar tidak berhenti membunuh rakyat sipil, "kami akan ikut gerakan revolusi dengan seluruh kelompok etnis demi mempertahankan diri."
"Jika militer terus menembak dan membunuh orang, itu berarti junta militer telah bertransformasi menjadi teroris. Kami tidak akan duduk diam, kami akan mencari berbagai cara untuk melindungi warga," kata Yawd Serk.
Junta militer Myanmar berulang kali menyalahkan para demonstran terhadap kematian ratusan orang sejak kudeta berlangsung.
Juru bicara militer Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, mengatakan pihaknya telah menggunakan kekuatan minimum untuk menindak para pedemo.
"Kami bertindak karena massa memblokir jalan dan akses dengan karung pasir, menembak dengan senjata buatan tangan, dan melempar dengan bola api, atau bom molotov, hingga akhirnya pasukan keamanan harus menggunakan senjata untuk meredam kerusuhan," kata Min Tun.
(rds/dea)