Pertaruhan KTT ASEAN: 'Main Cantik' atau Akui Junta Myanmar
Gelombang protes menolak kehadiran panglima junta militer, Min Aung Hlaing, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN untuk membahas pergolakan di Myanmar pada Sabtu (24/4) mendatang membuat blok negara Asia Tenggara itu tergulung dilema.
Untuk menghentikan pertumpahan darah, ASEAN harus berbicara dengan junta militer. Namun, mengundang junta militer ke KTT itu juga berisiko mencoreng citra ASEAN karena seolah memberikan legitimasi ke rezim militer yang mengudeta pemerintahan sipil.
Sementara itu, pemerintahan sipil tandingan yang terbentuk setelah militer melakukan kudeta, (National Unity Government/NUG), juga meminta agar mereka diundang ke KTT itu.
Sejumlah pengamat pun menganggap situasi ini sebagai kondisi yang serba salah, tapi tetap harus dijalani ASEAN.
"Memang serba salah karena ini momen yang penting bagi semua. Ya sekarang pilihannya ada di ASEAN. Mau diundang atau tidak, tapi semua ada risikonya," ujar pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/4).
Rezasyah kemudian menjelaskan bahwa jika NUG diundang, ada kemungkinan Min Aung Hlaing akan "ngambek" dan tak mau datang.
Senada dengan Rezasyah, pengamat dari Universitas Nasional Australia, Hunter Marston, juga mengatakan kepada South China Morning Post bahwa jika ASEAN mengundang NUG, ada kemungkinan Min akan "menolak datang dan menuding ASEAN mengintervensi urusan dalam negeri Myanmar."
Menurut mantan asisten khusus sekretariat jenderal ASEAN, Kavi Chongkittavorn, saat ini ASEAN justru harus membangun kepercayaan Min agar dapat mendesak militer tak lagi menggunakan kekerasan yang berujung pertumpahan darah.
"Kehadiran Min Aung Hlaing dapat memberikan kesempatan bagi pemimpin-pemimpin ASEAN untuk menciptakan kepercayaan," tutur Kavi.
Meski ASEAN menjalin hubungan dengan Min, para pengamat ini tak memungkiri bahwa blok negara Asia Tenggara itu juga harus menggandeng NUG. Namun, tidak dalam forum yang sama.
"Kedua pihak ini tidak bisa dipertemukan karena pasti bentrok. Jangan sampai pihak oposisi menggunakan momentum ini untuk menghujat, lalu nanti membentuk pemerintahan dalam pelarian. Semakin bingung nanti. Harus hati-hati sekali," ucap Rezasyah.
Rezasyah menganggap ASEAN memang mau tidak mau harus mengundang Min dalam konteks resmi karena saat ini, junta militer merupakan penguasa de facto Myanmar.
Ia lantas menjelaskan bahwa untuk menggandeng semua pihak, formula formal dan informal bisa jadi pilihan tepat untuk ASEAN.
"Pertama di KTT ini kan acara formal, itu tempat 10 negara ASEAN bertemu resmi. Di situ, tidak boleh ada oposisi," kata Rezasyah.
Setelah itu, kata Rezasyah, ASEAN bisa membuat momen-momen informal, mungkin dibalut acara kebudayaan atau keagamaan, untuk melibatkan perwakilan tokoh masyarakat Myanmar.
"Di situ lah ASEAN bisa menempatkan tokoh-tokoh seperti Aung San Suu Kyi sebagai tokoh masyarakat, bukan mewakili negara agar tidak melukai kepercayaan Tatmadaw (junta). Diplomasi di belakang layar ini harus sangat manis. Harus main cantik," kata Rezasyah.
Kavi Chongkittavorn juga menganggap format pertemuan formal dan informal ini dapat membuka jalan menuju perdamaian di Myanmar.
"Para anggota ASEAN secara individu akan menjalin kontak secara informal. Ini akan membuka jalan untuk dialog di masa mendatang dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar," katanya.
Meski format ini dianggap dapat menjadi jalan keluar, sebagian pihak masih tetap skeptis mengingat junta militer Myanmar merupakan rezim yang dikenal bebal.