Biden Akui Pembantaian Armenia pada 1915 Genosida
Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada hari Sabtu (24/4) mengakui pembunuhan orang-orang Armenia oleh pasukan Ottoman pada tahun 1915 sebagai genosida, momen yang menentukan bagi keturunan dari ratusan ribu orang yang tewas saat itu.
Biden menjadi presiden AS pertama yang menggunakan kata genosida dalam sebuah pernyataan pada peringatan itu, sehari setelah memberi tahu pemimpin Turki Recep Tayyip Erdogan tentang keputusan tersebut dan berusaha membatasi kehebohan dari sekutu NATO tersebut.
"Kami mengingat kehidupan semua orang yang tewas dalam genosida Armenia era Ottoman dan berkomitmen kembali untuk mencegah kekejaman seperti itu terjadi lagi," kata Biden, seperti yang dikutip dari AFP.
"Kami menegaskan sejarah. Kami melakukan ini bukan untuk menyalahkan tetapi untuk memastikan bahwa apa yang terjadi tidak pernah terulang."
Pernyataan tersebut merupakan kemenangan besar bagi Armenia dan diasporanya yang ekstensif. Dimulai dengan Uruguay pada tahun 1965, negara-negara termasuk Prancis, Jerman, Kanada, dan Rusia telah mengakui genosida tersebut, tetapi pernyataan AS telah menjadi tujuan terpenting yang terbukti sulit dipahami di bawah presiden sebelumnya.
Erdogan, dalam sebuah pernyataan kepada komunitas Armenia di Istanbul, mengatakan perdebatan "harus diadakan oleh sejarawan" dan tidak "dipolitisasi oleh pihak ketiga."
"Kata-kata tidak dapat mengubah atau menulis ulang sejarah," Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menulis cuitan beberapa saat setelah pernyataan Biden. "Kami tidak akan mengambil pelajaran dari siapa pun tentang sejarah kami."
Kementerian luar negeri Turki kemudian memanggil Duta Besar AS David Satterfield untuk menyatakan ketidaksenangannya, mencatat bahwa keputusan Biden menyebabkan "luka dalam hubungan yang sulit diperbaiki," lapor kantor berita negara Anadolu.
Menjelaskan pemikiran Biden, seorang pejabat pemerintah menunjuk pada sumpah presiden dari Partai Demokrat untuk menempatkan prioritas baru pada hak asasi manusia dan menyoroti keterbukaannya pada rasisme sistemik di Amerika Serikat.
Di seluruh dunia, "orang mulai mengakui dan membahas serta bergulat dengan fakta sejarah yang menyakitkan di negara mereka sendiri. Ini pasti sesuatu yang kami lakukan di sini di Amerika Serikat," kata pejabat itu.