Amro dibebaskan beberapa hari setelah ditahan. Meski kerap menjadi target aparat, Amro mengaku tidak kapok menjadi aktivis di Palestina.
Pria 41 tahun itu menganggap aktivis di Tepi Barat merupakan pekerjaan yang genting.
"Lingkungan ini tidak aman bagi saya. Saya takut terbunuh tetapi saya tidak akan berhenti," ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amro mengaku dia pernah disiksa selama sepekan mendekam di tahanan pada 2017. Saat itu, ia mengaku dipukuli dan dikurung di sebuah ruangan kecil, dilarang menemui kuasa hukum, dan bahkan diancam akan dipenggal kepalanya oleh aparat Palestina.
"Saya terhubung dengan komunitas internasional, dan suara saya mencapai anggota parlemen di seluruh dunia," katanya.
"Mereka (otoritas Palestina) tidak menginginkan hal itu. Mereka ingin menjadi satu-satunya suara bagi rakyat Palestina," kata Amro berupaya menjelaskan mengapa dia menjadi sasaran pemerintah Palestina.
Amro menegaskan bahwa dia memiliki tanggung jawab untuk melaporkan dan membahas pelanggaran yang dilakukan pejabat Palestina.
"Jika Mahmud Abbas (memimpin) kediktatoran, saya harus membicarakannya," katanya. Saya harus berbicara tentang tahanan politik," ujar Amro.
Pada 2017, kelompok HAM Human Rights Watch yang berbasis di New York menyebut pemerintah Palestina bersalah atas "penahanan sewenang-wenang" dan "praktik penyiksaan secara sistematis" terhadap tahanan.
HRW bahkan menuturkan perilaku pemerintah Palestina itu bisa jadi mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Presiden Mahmoud Abbas memimpin Palestina sejak 2005. Jabatannya seharusnya berakhir pada 2009 lalu, tetapi dia berulang kali menolak mengadakan pemilihan umum.
Abbas juga baru-baru ini membatalkan pemilu yang dijadwalkan pada Mei dan Juli tahun ini. Ia membatalkan pemilu dengan alasan Israel menolak menjamin pemungutan suara di wilayah pendudukan di Yerusalem timur.
(rds/ayp)