Di sisi lain, pergolakan di Myanmar dinilai justru menguntungkan China.
Saat ini Myanmar adalah sekutu China, utamanya soal ekonomi dan persenjataan. Saat kudeta terjadi, China juga bersikap lembut terhadap junta, di saat banyak negara yang mengecam.
China bahkan menyebut kudeta yang terjadi sebagai perombakan kabinet besar-besaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama militer Min Aung Hlaing masih didukung Beijing, dan selama ASEAN tetap bertahan dengan prinsip non-interference, ya status quo yang ada tetap bertahan," jelas Aleksius.
China juga kerap menghalangi upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan menjatuhkan sanksi ke Myanmar.
Bahkan, saat PBB mengusulkan kepada negara anggota untuk melakukan embargo senjata ke Myanmar Juni lalu, China memilih abstain.
Sejumlah negara juga menjatuhkan sanksi kepada Myanmar terkait kudeta. Seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada yang membekukan aset pejabat militer, kemudian diikuti Uni Eropa, Australia dan Jepang.
Akan tetapi, langkah itu disebut tak akan efektif, selama Myanmar tetap dalam kondisi status quo.
"Dewan Keamanan PBB juga tidak bisa buat resolusi akan diveto China. Embargo ekonomi oleh Barat juga tidak akan efektif," kata Aleksius.
Reza kemudian memperkirakan Myanmar, yang sudah kehilangan kepercayaan Internasional akibat tindakan junta, akan merapat ke China.
"Republik Rakyat China (RRC) sanggup menyapih Myanmar di PBB, termasuk mengurangi ketergantungan psikologis Myanmar pada ASEAN," kata Reza.
Dalam kata lain, ASEAN tidak punya banyak pengaruh kecuali menarik China agar mereka bersedia intervensi.
"China senang dengan status quo di Myanmar. Karena dengan begitu, ASEAN semakin terpecah secara keorganisasian," ucap Reza.
(isa/ayp)