Menanti Nasib Afghanistan di Tangan Taliban usai AS Hengkang
Pesawat terakhir militer Amerika Serikat resmi meninggalkan Afghanistan pada Senin (30/8) sore waktu Kabul dengan membawa pasukan dan staf inti diplomatik yang tersisa.
"Pesawat C-17 terakhir lepas landas dari Bandara Internasional Hamid Karzai pada 30 Agustus sore ini pukul 15:29 waktu setempat," kata Jenderal Komando Pusat AS (Centcom), Kenneth Frank McKenzie.
"Setiap personel militer AS saat ini telah keluar dari Afghanistan. Saya bisa bilang dengan 100 persen keyakinan," ucap McKenzie menambahkan.
Pesawat tersebut menandai akhir misi militer selama 20 tahun di Afghanistan, yang merupakan perang terpanjang dalam sejarah AS.
Untuk pertama kalinya pula sejak 2001, tidak ada kehadiran militer AS di negara Asia Selatan tersebut. AS juga menutup kedutaan besarnya di Kabul dan memindahkan perwakilannya untuk Afghanistan ke Doha, Qatar.
Taliban, kelompok yang mengklaim berkuasa atas Afghanistan usai menduduki Ibu Kota Kabul pada 15 Agustus lalu, pun bersorak kemenangan tak lama usai AS resmi hengkang dari negara itu.
Lalu, bagaimana nasib Afghanistan usai AS resmi hengkang?
Beberapa hari sebelum tenggat waktu penarikan pasukan AS dari Afghanistan yang jatuh pada hari ini, Selasa (31/8), dua bom bunuh diri menerjang Bandara Kabul. Insiden yang diklaim oleh ISIS itu menewaskan total 90 orang dan sekitar 150 lainnya terluka.
Sebanyak 13 tentara AS pun ikut gugur dalam insiden itu. Bom Kabul menjadi insiden dengan korban tentara AS terbanyak sejak 2011 lalu.
ISIS mengklaim afiliasinya di Afghanistan, ISIS-Khosaran (ISIS-K), yang meluncurkan serangan tersebut.
Sehari sebelum serangan itu terjadi, AS dan sejumlah negara sekutu mewanti-wanti soal ancaman teror, termasuk dari ISIS-K, di Bandara Kabul yang saat itu masih dipenuhi warga Afghanistan yang berebut ingin kabur dari negara itu.
Sejumlah pihak khawatir kebangkitan rezim Taliban di Afghanistan tak semata-mata menjadikan negara itu aman dari teror milisi. Taliban bahkan disebut mulai menghadapi tantangan keamanan pertamanya yakni kemunculan ISIS-K yang disebut musuh bebuyutannya di Afghanistan.
Sejak bom bunuh diri di Bandara Kabul terjadi, ISIS-K kembali meluncurkan serangan lainnya di ibu kota, termasuk menembakkan beberapa roket ke Bandara Internasional Hamid Karzai hingga membuat warga berhamburan menjauhi tempat itu.
Isu keamanan, terutama dengan kehadiran ancaman ISIS-K, diprediksi bisa menjadi salah satu yang memaksa AS tetap berkoordinasi dengan Taliban meski tak mengakui kelompok itu sebagai pemerintah resmi Afghanistan.
Dikutip Reuters, beberapa analis mengatakan Washington dan Taliban dapat berkoordinasi dan bahkan mungkin bisa berbagi informasi untuk melawan kelompok tersebut.
Jenderal Centcom McKenzie pun mengakui bahwa salah satu personelnya sempat berkoordinasi dengan pihak Taliban sebelum pulang dari negara itu.
"AS memang berkoordinasi dengan komandan Taliban ketika akan pergi tetapi tidak ada diksusi tentang mengubah apa pun tentang (kehadiran militer) itu sama sekali," ucap McKenzie.
"Kami tidak menyerahkannya kepada Taliban. Salah satu hal terakhir yang dilakukan Jenderal Donahue sebelum pergi adalah berbicara dengan komandan Taliban yang telah berkoordinasi dengannya untuk memberi tahu mereka bahwa kami akan pergi," paparnya menambahkan.
Sementara itu, saat ini, AS dan negara sekutu juga tengah berdiskusi dan mengupayakan untuk membuka kembali Bandara Kabul untuk penerbangan komersial. Sejak Kabul jatuh ke tangan Taliban, AS dan NATO mengambil alih operasional Bandara Kabul.
Kini, setelah AS resmi hengkang dari Afghanistan, operasional Bandara Kabul pun jatuh ke tangan pemerintah Afghanistan di bawah rezim Taliban.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken berharap bandara Kabul dapat dibuka sesegera mungkin. Menurutnya, hal itu penting demi memfasilitasi perjalanan yang aman bagi warga yang masih ingin pergi dari Afghanistan, terutama warga Amerika yang masih berada di negara itu.
Saat ini, pihak Taliban, Qatar, dan Turki juga tengah berunding soal operasional Bandara Kabul.
(rds/bac)