Saat Taliban berkuasa di Afghanistan puluhan tahun silam, sejumlah negara Arab pasang badan dengan secara resmi mengakui pemerintahan kelompok tersebut. Kini, pergerakan negara-negara Teluk pun menjadi sorotan.
Sebagian pengamat menganggap negara-negara Teluk akan tetap pragmatis dan menjalin hubungan resmi dengan Taliban.
Namun, beberapa pengamat lainnya menganggap situasi saat ini membuat negara-negara Arab bakal lebih jual mahal untuk mengakui kekuasaan kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dulu, hanya ada tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban secara resmi. Dari tiga negara yang pasang badan itu, dua di antaranya merupakan bagian dari kawasan Teluk, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Saudi memang memutus hubungan dengan Taliban karena kelompok itu menolak melindungi pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, pada 1998.
Namun, seorang diplomat yang kini berada di Saudi mengatakan kepada Reuters bahwa negara kerajaan itu kini mau tak mau harus mengakui kekuasaan Taliban lagi karena mesti beradaptasi dengan kenyataan saat ini.
"Saudi sudah memiliki rekam jejak hubungan dengan Afghanistan dan ada waktunya mereka akan menerima Taliban lagi. Mereka tak punya pilihan," ujar diplomat yang enggan diungkap identitasnya tersebut.
Seorang pengamat dari Royal United Services Institute for Defence and Security Studies, Umar Karim, juga mengatakan bahwa Saudi mungkin ingin mendekati Taliban untuk menanamkan nilai-nilai Islam moderat.
"Arab Saudi masih punya kartu keagamaan yang kuat untuk Taliban," ujar Karim kepada Reuters.
Meski demikian, Karim menduga Saudi tak akan langsung menjalin hubungan resmi dengan Taliban. Mereka kemungkinan bakal membuka jaringan melalui Pakistan.
Menurut para pakar, Saudi memang sudah lama bermain politik dua kaki di Afghanistan. Pemerintah resminya memang tak mengakui Taliban.
Namun, sebagaimana dilansir BBC, sejumlah pejabat Saudi dilaporkan mengalirkan dana untuk Taliban di Afghanistan.
Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia, Yon Machmudi, juga mengakui ada kemungkinan sejumlah oknum di Saudi menjalin hubungan dengan Taliban.
"Memang ada beberapa pejabat Saudi yang lebih konservatif dibandingkan dengan kelompok yang lebih progresif, tapi mereka kan di bawah, tidak secara terang-terangan memberikan dukungan kepada Taliban," tutur Yon kepada CNNIndonesia.com.
Lihat Juga : |
Namun, Yon menganggap Saudi tak akan terburu-buru menjalin hubungan resmi dengan Taliban karena nilai-nilainya yang bertentangan.
"Kalau pemerintah yang resmi nampaknya lebih cenderung untuk tidak mengakui terlebih dahulu karena nampaknya mereka masih melihat bahwa model Afghanistan itu bertentangan dengan rencana Saudi ke depan yang katanya ingin lebih terbuka dan lebih welcome kepada dunia luar, terhadap Barat," katanya.
Ia kemudian berkata, "Hubungan dengan AS juga sangat dekat jadi mereka tidak mau kehilangan momentum hubungannya dengan AS gara-gara mengakui pemerintahan Taliban."
Yon pun menganggap kini Afghanistan harus bekerja keras mencari pengakuan, terutama dari negara-negara Teluk, demi pembangunan di masa mendatang.
"Negara-negara Teluk ini kan juga termasuk negara donor dan investor yang bisa menguatkan ekonomi Afghanistan di dalam pembangunan ke depannya," tutur Yon.
"Tentu juga akan memengaruhi sikap negara-negara yang lain, seperti Uni Eropa atau AS. Karena kondisi keuangan saat ini sangat sulit untuk pemerintahan Taliban. Dana keuangan mereka juga dibekukan, tidak bisa digunakan. Ini nampaknya akan sangat menyulitkan."
Meski keadaan sosial di Afghanistan sudah menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa, para pengamat tetap menganggap sangat sulit bagi negara Teluk untuk mengakui pemerintahan Taliban karena bertentangan dengan kampanye mereka.
Beberapa pengamat bahkan mengatakan bahwa negara-negara Teluk kemungkinan malah mulai berpikir ke arah lain, yaitu menghindari peningkatan pengaruh Iran di kawasan setelah AS hengkang dari Afghanistan.
Dalam tulisan analisisnya di CNN, Tamara Qiblawi mengatakan bahwa kepergian AS dari Afghanistan ini dapat memperkuat alasan negara-negara Teluk untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.