Yon Machumi juga sudah mulai melihat gelagat pembentukan poros Iran, Rusia, dan China setelah AS hengkang dari Afghanistan.
Namun menurut Yon, manuver di kawasan saat ini bakal lebih berdasarkan kepentingan ekonomi, bukan politik ideologi semata. Yon bahkan melihat poros Iran ini juga sudah mulai melakukan pendekatan ke negara-negara Arab, bersaing dengan Israel.
"Memang ada tren baru, poros Iran, Rusia, China mencoba merangkul negara-negara Arab. China itu memberikan tawaran kerja sama ekonomi, proyek OBOR itu," kata Yon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Model pendekatan kerja sama nampaknya lebih mudah diterima dibandingkan politik. Dalam kaitannya apakah aliansi ke Israel akan semakin menguat, saya kira dinamis saja. Jika pada satu titik menguntungkan untuk mendekat ke Israel, tentu mereka akan lakukan."
Lebih jauh, Yon justru melihat Israel bakal lebih lemah karena AS mengubah haluan geopolitiknya ke Asia, tak lagi ke Timur Tengah.
Sama seperti Yon, Tamara Qiblawi dari CNN juga memantau pergerakan negara-negara Teluk yang mulai lunak ke Iran.
Ambil contoh Uni Emirat Arab yang sudah menormalisasi hubungan dengan Israel. Menurut Qiblawi, UEA tak ingin menyulut Iran meski sudah membuka hubungan resmi dengan Israel.
"Dalam wawancara dengan Becky Anderson dari CNN tahun lalu, penasihat kepresidenan UEA, Anwar Gargash, mengatakan bahwa perjanjian normalisasi itu tak seharusnya dilihat sebagai eskalasi dengan Iran, tapi sebagai bagian dari tren untuk menstabilkan kawasan," tulis Qiblawi.
Selain UEA, Pangeran Saudi, Mohammed bin Salman, pun mengatakan bahwa kini negaranya ingin menjalin hubungan baik dengan Iran, meski ada sejumlah pihak di negaranya yang menentang.
"Tetap saja Iran akan dijadikan sebagai musuh utama, terutama Israel sangat mencoba meyakinkan negara-negara Arab bahwa mereka tidak bisa bekerja sama dengan Iran," kata Yon.
Ia kemudian berkata, "Namun, upaya untuk mendekat juga dilakukan, dan AS sebenarnya mendukung langkah-langkah dialog dan negosiasi dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menekan terhadap pihak yang lain."
Melihat berbagai kemungkinan ini, Yon menganggap pergerakan negara-negara kawasan saat ini memang sulit ditebak, karena hegemoni yang sejak dulu terbentuk kini mulai tergerus di tengah begitu banyak kepentingan.
"Sekarang lebih longgar karena hegemoninya mulai berkurang. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa pergerakannya akan ke arah mana," katanya.
Menutup pernyataannya, Yon berkata, "Tiap-tiap negara akhirnya punya kebijakan masing-masing yang itu tidak selalu sama antara satu dengan yang lain, berbeda dengan waktu ada kekuatan hegemoni yang bisa mengarahkan pada satu keputusan tertentu."
(has/bac)