Wali Kota interim Kabul di era Taliban, Hamdulllah Namony, memerintahkan pegawai negeri sipil perempuan di kota itu agar tetap di rumah kecuali mereka yang jenis pekerjaannya tak bisa digantikan oleh laki-laki.
Namony mengatakan, pekerja perempuan harus tetap di rumah sampai ada keputusan lebih lanjut. Namun, ia tak menyebut lebih rinci jumlah pekerja perempuan yang dirumahkan dan harus ke kantor.
"Ada beberapa wilayah yang tak bisa dilakukan laki-laki. Kami harus meminta staf perempuan untuk mengerjakannya. Tak ada alternatif untuk itu," ujar Namony, sebagaimana dikutip Associated Press, Minggu (19/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa pekerjaan tersebut seperti desain dan teknis pengerjaan toilet umum untuk perempuan.
Pernyataan wali kota Kabul sangat mempengaruhi banyak tenaga kerja perempuan yang turut terlibat mengurus kota itu.
Keputusannya mencegah sebagian karyawan perempuan untuk bekerja. Langkah ini dianggap sebagai tanda bahwa Taliban memaksakan interpretasi kerasnya soal syariat Islam terhadap masyarakat di Afghanistan.
Tak lama usai menduduki istana kepresidenan pertengahan Agustus lalu, Taliban mengklaim ingin membentuk pemerintahan dengan wajah baru. Mereka, katanya, akan mendirikan pemerintah yang terbuka dan inklusif.
Namun, kenyataan tak sebanding dengan janji itu. Belum lama ini, Taliban juga menutup Kementerian urusan Perempuan dan diganti menjadi lembaga penegak aturan syariat Islam di kalangan masyarakat, mirip polisi moral.
Tindakan tersebut membuat geram banyak perempuan di Afghanistan. Pada Minggu (19/9), sekelompok perempuan menggelar demonstrasi menuntut partisipasi mereka di sektor publik.
"Masyarakat di mana perempuan tak aktif adalah masyarakat yang sudah mati," demikian tulisan di salah satu poster yang mereka bawa.
Di tempat lain, sekitar 30 perempuan menggelar konferensi pers. Seorang aktivis hak asasi manusia dan pegawai pemerintah, Marzia AHmadi, mengatakan mereka akan menuntut Taliban membuka kembali ruang publik untuk perempuan.
"Itu hak kami. Kami ingin bicara dengan mereka. Kami ingin memberi tahu mereka, kami memiliki hak yang sama," katanya.
Tak hanya Kabul, perempuan di banyak daerah lain diperintahkan untuk tetap di rumah, baik pekerja sektor publik maupun swasta. Namun, sejauh ini pemerintah interim pusat belum mengumumkan kebijakan yang seragam.
Di tengah berbagai kabar diskriminasi ini, Taliban berusaha mendekati negara-negara lain untuk mengakui pemerintahannya agar mereka dapat memulihkan perekonomian,
Namun, beberapa pihak khawatir, jika komunitas internasional dengan mudah memberi bantuan kepada Taliban, mereka akan lebih memperketat ruang gerak perempuan.
(isa/has)