Sejumlah kabar dunia meramaikan berita-berita internasional dalam 24 jam terakhir.
Salah satunya Taliban yang akan memakai sistem monarki atau kerajaan di Afghanistan. Begitu pula cerita perwakilan Gedung Putih yang menyebut perang bisa kembali terjadi antara AS-Taliban jika tentara AS masih di Afghanistan lewat 31 Agustus.
Vanuatu yang cemas tenggelam dan mendesak PBB untuk segera menangani perubahan iklim juga jadi salah satu berita yang masih ramai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut kilas internasional di CNNIndonesia.com pada Rabu (29/9) pagi:
Rezim Taliban mengumumkan akan menerapkan sistem kerajaan untuk sementara waktu di Afghanistan yang diadopsi dari konstitusi 1964 silam.
Menteri Kehakiman Afghanistan rezim Taliban, Mawlavi Abdul Hakim Sharaee, mengatakan Taliban berencana memperkenalkan konstitusi yang diterapkan Raja Mohammad Zahir Shah dengan sejumlah amandemen.
"Republik Emirat Islam (Afghanistan) akan mengadopsi konstitusi masa mantan Raja Mohammad Zahir Shah untuk sementara waktu," kata Sharaee pada Jumat (28/9).
2. Gedung Putih: AS-Taliban Perang Jika Masih Ada Tentara di Afghanistan
Perwakilan Gedung Putih menyatakan bahwa Amerika Serikat bisa terlibat perang dengan Taliban jika menyisakan 2.500 tentara di Afghanistan melewati tenggat pada 31 Agustus lalu.
"Kita bakal terlibat perang dengan Taliban," ujar juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, pada Selasa (28/9).
Psaki melontarkan pernyataan ini setelah muncul desas-desus mengenai ketidakharmonisan antara Presiden Joe Biden dan para petinggi militer AS.
Rumor ini beredar setelah dua jenderal AS menyatakan bahwa mereka sempat merekomendasikan agar negaranya menyisakan 2.500 tentara untuk membantu militer Afghanistan melawan Taliban.
3. Takut Tenggelam, Vanuatu Desak PBB Tangani Perubahan Iklim
Vanuatu mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serius menangani perubahan iklim demi melindungi warga negara kepulauan di Pasifik itu dari ancaman kenaikan air laut akibat pemanasan global.
Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman, juga mendesak masyarakat internasional berupaya lebih keras lagi mengatasi krisis perubahan iklim dan memperingatkan "masih banyak negara individualis yang mengabaikan dampaknya."
Lihat Juga : |
"Bagi kami dan negara pulau kecil serta berkembang lainya ancaman global terbesar kami yang utama adalah perubahan iklim, pengelolaan lautan kami, dan tentu saja pandemi Covid-19," kata Loughman dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB Ke-76 pada Minggu (26/9).