ANALISIS

Kisah Putri Jepang dan Pakem Kekaisaran yang Tak Lagi Relevan

Anisa Dewi | CNN Indonesia
Jumat, 29 Okt 2021 07:35 WIB
Memahami duduk persoalan yang kompleks soal Kekaisaran Jepang ihwal keputusan Putri Mako menjadi warga biasa.
Pangeran Harry dan Meghan Markle. (AP/Kirsty Wigglesworth)

Berkenaan dengan hal itu, sejumlah pihak ada yang mengaitkan kisah Putri Mako dan Komuro dengan Pangeran Harry dan Meghan dari Kerajaan Inggris.

CNN melaporkan belakangan ini para bangsawan menemukan kebahagiaan saat dengan rakyat biasa. Di klan Windsor, misalnya, saudara perempuan Ratu, Putri Margaret, menikah dengan Anthony Armstrong Jones yang notabene seorang fotografer.

Kemudian ada William dan Kate, dan satu lagi yang tak kalah fenomenal, Harry dan Meghan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski menikahi orang dari kalangan non-kerajaan, mereka bisa diterima oleh pihak kerajaan-kerajaan Eropa. Contoh lainnya, Putra Mahkota Denmark, Frederik, menikah dengan eksekutif pemasaran Mary Donaldson dan Putra Mahkota Spanyol Felipe memutuskan untuk menikahi mantan pembawa acara CNN, Letizia Ortiz.

Keluar dari kerajaan usai jatuh cinta pada rakyat biasa, punya kemiripan dengan Kerajaan Sussex. Harry-Meghan mundur dan dikenal sebagai bangsawan yang bekerja, demi kehidupan baru di California.

Namun, jangan berharap pengantin baru Jepang mengikuti langkahnya.

"Anggota keluarga kerajaan Inggris tumbuh dengan kekayaan yang luar biasa. Dan mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengumpulkan uang demi yayasan amal. Jadi ketahuilah cara kerjanya," kata Direktur Pusat Studi Jepang dari Universitas Negeri Portland, Ken Ruoff.

Ruoff lalu menuturkan, "Jadi saat Harry dan Meghan pergi ke AS, dan menceritakan beragam kisah soal keluarga kerajaan, mereka berhasil menghasilkan jutaan dolar sembari menggantungkan kebahagiaan mereka."

Sementara kepergian Putri Mako di mata Ruoff merupakan jalan keluar yang dramatis. Tapi ia juga mengira mereka memilih kehidupan yang tenang.

"Saya pikir apa yang akan terjadi adalah mereka akan menghilang begitu saja," tutur Ruoff.

Meskipun tetap ada komparasi, pernikahan keponakan Kaisar Naruhito itu lebih berkesan. Putri Mako tak memilih untuk melepas gelar kerajaannya. Dia kehilangan itu karena hukum kekaisaran Jepang.

Kisah cinta itu mungkin bisa menjadi romansa selama berabad-abad. Pasangan tersebut mengumumkan pertunangannya pada 2017 lalu. Kegembiraan pun mulai tampak di wajah publik Jepang, tetapi rasa senang mereka luntur tak lama kemudian.

Mulanya, rencana pernikahan akan digelar satu tahun berikutnya, yakni pada 2018. Namun, pihak Kekaisaran merasa butuh persiapan lebih matang untuk menggelar acara tersebut.

Persiapan itu disebut terganggu dengan ketidaksetujuan publik soal hubungan mereka dan gaduh media atas masalah finansial yang menjerat keluarga Komuro.

Kontroversi ini memunculkan pandangan baru di benak warga Jepang bahwa Komuro hanya mengincar kekayaan sang putri dan tak pantas untuknya.

Profesor dari School of Business Administration di Universitas Senshu, Kumiko Nemoto, mengatakan banyak masyarakat Jepang yang menganut sistem monarki dengan standar tinggi yang memperkuat nilai-nilai patriarki.

"Warga Jepang ingin merasakan kedekatan dengan anggota keluarga kekaisaran, tetapi mereka juga ingin keluarga mengikuti peran gender dan norma keluarga yang mana seorang perempuan, yang dipercaya, harus mematuhi otoritas laki-laki dalam keluarga dan bangsa," paparnya.

Dalam memproyeksikan ekspektasi ekstrem ini ke dalam keluarga, warga Jepang kadang menjelek-jelekkan orang yang mereka anggap menodai reputasi keluarga, lanjut Nemoto.

Banyak yang menilai pekerjaan Komuro di AS adalah langkah yang egois. Mereka juga kerap memandang rendah ibu tunggal, baik secara moral maupun ekonomi.

Hal itu menurut Nemoto, kemungkinan terjadi karena banyak laki-laki dan perempuan Jepang menjalani hidup mereka dengan batasan peran gender yang besar atau tekanan sosial dari karier dan keluarga tradisional.

"Laki-laki dan perempuan harus mengorbankan diri mereka demi pernikahan dan keluarga," katanya lagi.

Bangsawan Jepang juga diharuskan memiliki nilai mistis tertentu, demikian menurut dosen senior sejarah Asia di University of Edinburgh, Christopher Harding.

"Tak ada upaya di Jepang untuk menciptakan 'monarki media' seperti yang terjadi di Inggris. Ada lebih banyak perbedaan dan penghormatan, meskipun itu tak menghentikan media Jepang mengejar gosip."

'Eksploitasi' yang dilakukan media dan riuhnya penolakan baik di internal maupun eksternal membuat Putri Mako mengalami gangguan kesehatan mental.

Namun, ia bukan perempuan pertama yang menderita akibat tekanan yang bertubi-tubi. Permaisuri saat ini, Masako, memiliki sejarah panjang berkaitan dengan kesehatan mentalnya. Pun, dengan ibu mertuanya, Permaisuri Emerita Michiko.

Harding mengatakan Masako menikah dengan keluarga kaisar dilaporkan untuk melanjutkan karier diplomatiknya.

"Kenyataanya tak sebaik itu, setidaknya sampai saat ini. Masako mendapati bahwa tugas dirinya adalah menghasilkan ahli waris," kata Harding.

Para feminis di Jepang, Amerika Serikat dan tempat lain sangat kecewa dengan hal tersebut. Mereka tadinya berharap Masako bisa menjadi oase di tengah kuatnya patriarki di Jepang.

"Publik Jepang pada umumnya bersimpati dengan dampak kesehatan mental yang dipicu oleh peran kerajaan. Namun, ada kecurigaan diagnosis kesehatan mental digunakan untuk menangkis kritik atau menutupi kekurangan," kata Harding.

Masako perlu istirahat sebagai bentuk perawatan akan gangguan mentalnya itu.

"Tetapi beberapa mengkritik karena melalaikan tugasnya, dan membiarkan suaminya melakukan semua pekerjaan," ujar Harding.

Beban posisi perempuan di kekaisaran Jepang, baca di halaman berikutnya...



Beban Posisi Perempuan di Istana Jepang

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER