ANALISIS

Kisah Putri Jepang dan Pakem Kekaisaran yang Tak Lagi Relevan

Anisa Dewi | CNN Indonesia
Jumat, 29 Okt 2021 07:35 WIB
Memahami duduk persoalan yang kompleks soal Kekaisaran Jepang ihwal keputusan Putri Mako menjadi warga biasa.
Kaisar Naruhito dan permaisuri Masako. (AP/Carl Court)

Sebagai seorang perempuan, peran Putri Mako juga tak signifikan. Peran ia terbatas hanya untuk membantu kerabat laki-lakinya, yang digadang-gadang menjadi penerus takhta.

Kepergian Mako pun menyisakan perdebatan kembali mengenai perlu atau tidaknya perubahan UU Kekaisaran. Seperti memungkinkan perempuan yang menikah dengan warga biasa tetap mempertahankan gelarnya sebagaimana yang dilakukan anggota keluarga laki-laki.

Aturan itu juga berdampak pada krisisnya pewaris takhta Kekaisaran Jepang. Sebelum ada Restorasi Meiji besar-besaran, perempuan pernah menjadi kaisar di periode awal negara itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut akademisi program Studi Jepang Universitas Indonesia, Aldrie Alman Drajat, mengutarakan sebetulnya tidak mustahil bagi perempuan menduduki kursi kaisar.

Kelahiran Putri Aiko, memunculkan perdebatan untuk mengamandemen Kōshitsutenpan (Hukum Rumah Tangga Kekaisaran).

"Dari sistem primogenitur (asas) laki-laki ke primogenitur absolut agar perempuan yang memenuhi umur dapat bertahta secara permanen, bukan hanya sebagai kaisar sementara sampai calon kaisar laki-laki cukup umur untuk bertahta," kata Aldrie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (27/10).

Akan tetapi, kelahiran sepupu laki-laki Putri Aiko, Pangeran Hisahito, tampaknya membuat rencana amandemen dibatalkan karena Jepang telah memiliki calon yang masuk ke dalam sistem urutan kenaikan menjadi kaisar, lanjutnya.

"Sehingga, untuk sekarang, mustahil untuk Aiko menjadi kaisar kecuali hukum berubah," ucap Aldrie lagi.

Menjadi fokus atau tidaknya mengenai perubahan amandemen, terutama berkaitan dengan kekuasaan permanen, telah lama mengakar di Jepang akan berdampak pada stabilitas sistem.

"Hal ini dikarenakan kekaisaran adalah hal simbolis di Jepang," tutur Aldrie.

Eksistensi Kaisar, kata Aldrie, tidak memengaruhi sistem dan kehidupan masyarakat Jepang secara signifikan.

Ia lalu menggambarkan sistem kekaisaran seperti dalam konsep keluarga, di mana ayah-dalam pandangan kaum konservatif berperan pencari nafkah- sebagai "kaisar."

Konsepsi tersebut sudah bersifat turun-temurun di dalam struktur Jepang.

"Dan jika tidak ada urgensi dari pengubahan simbol ajeg tersebut, maka perempuan tidak akan menjadi kaisar secara permanen karena tidak masuk ke dalam skala prioritas," pungkas Aldrie.

Alhasil, hengkangnya tiga Putri Jepang dari Istana mengindikasikan bahwa menjadi perempuan di lingkaran dalam kekaisaran tak serta merta menguntungkan.

Sebaliknya, posisi subordinat atau di bawah bagi kaum perempuan justru semakin ditegaskan dalam pakem Istana. Kisah Sayako, Ayako, dan Mako memilih keluar pun demi mencari kebebasan untuk menjadi perempuan dengan posisi setara, termasuk memilih pujaan hati tanpa kekangan Istana.

(bac)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER