Jakarta, CNN Indonesia --
Perempuan pernah menjadi pemimpin kekaisaran pada masa awal sejarah Jepang. Peran mereka kemudian tersisih usai Restorasi Meiji pada 1889.
Jelang peresmian Putra Mahkota, muncul dukungan terhadap Putri Aiko yang merupakan anak semata wayang Kaisar Naruhito untuk menjadi kaisar. Namun, istana memiliki peraturan sendiri bahwa kaisar harus lelaki dari garis keturunan laki-laki.
Gelar Putra Mahkota kemudian diberikan ke adiknya, Pangeran Fumihito. Meski demikian, muncul dukungan untuk Putri Aiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekalipun nanti Putri Aiko menikah dan memiliki anak laki-laki, ia tak bisa menjadi penerus takhta.
Belum lama ini, anak Putra Mahkota Fumihito, Putri Mako, memilih hengkang dari istana lantaran menikah dengan warga sipil biasa. Ia harus melepas gelar kekaisaran sebagaimana tercantum Hukum Rumah Tangga Kekaisaran.
Namun, publik Jepang juga tak 'anti' terhadap kaisar perempuan. Berdasarkan Survei yang dilakukan Kyodo News sebesar 89,1 persen responden mendukung gagasan Jepang memiliki kaisar perempuan, sementara 13,5 persen lainnya menolak ide tersebut.
Dalam sejarahnya, Jepang juga pernah dipimpin kaisar perempuan. Ada sekitar delapan yang berada di puncak Takhta Krisan.
1. Suiko (592-628)
Perempuan pertama yang diberi gelar kaisar perempuan (empress) adalah Suiko. Dia memimpin Kekaisaran Jepang pada 554 hingga 628 M, demikian dikutip Nippon. Ia juga memiliki kekuasaan di bidang sosial, budaya dan perubahan politik.
2. Kogyuku (642-645)
Kogyuku menduduki kekuasaan dua kali. Saat memimpin kedua, ia dikenal sebagai Permaisuri Saimei setelah Reformasi Taika, sebuah gerakan politik radikal pada 655 M.
3. Jito (690-697)
Putri Kaisar Tenji dan istri pendahulunya, naik takhta karena Pangeran Kusakabe memiliki lawan yang kuat saat itu.
Kusakabe meninggal tak lama kemudian, lalu Jito menggantikan kekuasaannya sampai cucu Kaisar Tenji besar dan dianggap cakap menggantikan sebagai Kaisar Monmu.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
4. Genmei (707-715)
Adik tiri dari Putri Jito sekaligus istri Pangeran Kusakabe naik tahta karena cucunya terlalu muda untuk memimpin.
5. Gensho (715-724)
Satu-satunya perempuan pengganti di kekaisaran. Hal ini terjadi karena dia anak dari Pangeran Kusakabe, putra dari Kaisar Tenmu. Secara langsung, dia juga berada di garis kekaisaran laki-laki.
Kenaikan takhta Gensho terjadi saat Genmei turun dari kursi kekuasaan usai sembilan tahun dan calon Kaisar Shomu masih dianggap terlalu muda untuk duduk di posisi kekaisaran.
6. Koken (749-758) atau Shōtoku (764-770)
Putri Kaisar Shomu, Koken, menjadi perempuan pertama yang secara resmi ditunjuk sebagai pewaris takhta pertama saat putranya meninggal.
Perempuan itu naik takhta dengan nama Koken tetapi kemudian turun tahta. Kemudian sepupunya, Kaisar Junnin, memegang kendali pimpinan.
Selama masa pemerintahannya, perebutan kekuasaan meningkat antara Kaisar Junnin dan mantan Koken, yang didukung oleh biksu Buddha Doky, yang menjadi favorit.
Pendukung Junnin, Fujiwara Nakamaro, terus berusaha membangkitkan pemberontakan untuk mengamankan kembali otoritas, dan mereka menang.
Koken lalu mencopot Junnin dan naik takhta lagi untuk memerintah selama enam tahun sebagai Shotoku.
7. Meisho (1629-1643)
Dia menggantikan ayahnya, Kaisar Go-Mizunoo, yang tidak memiliki putra pada saat dia turun tahta menyusul perselisihan antara Keshogunan Tokugawa dan istana kekaisaran.
Namun, Meisho, memiliki seorang putra setelah turun takhta. Dia kemudian menyerahkan tahktanya saat bocah itu cukup dewasa menjadi Kaisar Go-Kōmyō.
8. Go-Sakuramachi
Perempuan terakhir yang memimpin takhta adalah Go-Sakuramachi yang memimpin pada tahun 1762 hingga 1779 setelah kematian ayahnya dan pemberian saudara laki-lakinya.
The Conversation melaporkan ada perempuan yang tersohor dalam sejarah kepemimpinan Jepang.
Pemimpin perempuan yang paling tersohor adalah Himiko. Ia berhasil menyatukan sebagian wilayah menjadi kerajaan dan memerintah lebih dari 30 negara bagian pada 175 M.
Himiko tak menikah selama menjadi pemimpin. Ia menghabiskan waktu dengan sulap, sihir dan membantu urusan bagian negara saudaranya.
Namun, pembahasan mengenai identitas dirinya masih menjadi perdebatan. Tapi yang pasti, ia adalah pemimpin perempuan yang kuat selama memimpin Jepang.