Senada dengan Bland, peneliti politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lidya Christin Sinaga, juga menganggap ASEAN mulai berani berubah untuk tak lagi memahami prinsip non-intervensi dengan cara lama.
"Jika ditanya ini gimik atau tidak, menurut saya ini bukan gimik ya. ASEAN sudah upayakan dialog hingga April lalu menggelar KTT langsung di Jakarta demi membahas isu Myanmar di tengah pandemi Covid-19. Tapi tetap tidak digubris Myanmar," kata Lidya kepada CNNIndonesia.com.
Lidya juga menganggap tak mengundang Aung Hlaing merupakan "konsekuensi" dan "hukuman" karena Myanmar tidak menghargai upaya ASEAN selama ini dalam membantu menangani krisis politik pasca-kudeta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lidya melihat junta Myanmar masih mencoba berlindung dengan prinsip non-intervensi ASEAN untuk melegalkan tindakannya di dalam negeri.
Padahal, menurutnya, selain non-intervensi, ASEAN juga memiliki prinsip lainnya seperti penegakkan hukum, good governance, hingga penghormatan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.
"Myanmar tidak bisa terus berlindung dengan prinsip non-intervensi ASEAN karena prinsip ASEAN bukan hanya non-intervensi, tp ada rule of law, good governance, penghormatan demokrasi, hingga penegakkan HAM juga," kata Lidya.
Lidya berharap ASEAN akan tetap mempertahankan tekannya terhadap Myanmar untuk menaati lima poin konsensus.
Ia tak merekomendasikan penerapan sanksi seperti embargo terhadap Myanmar yang dinilai hanya akan mengancam persatuan ASEAN dan mempersulit kehidupan warga Myanmar.
(rds)