Pengamat lain, Direktur Penelitian di Pusat Pemberantasan Terorisme di West Point, Daniel Milton, tak bisa menyebutkan nama yang nanti duduk di kursi tertinggi ISIS.
"Saya tak mengetahui individu tertentu, tapi ISIS telah mengalami sejumlah pukulan kepemimpinan sehingga mereka siap mengisi lowongan terbaru," kata Milton dikutip dari NBC News.
Ia menilai siapapun yang nantinya akan dipilih menjadi pemimpin ISIS, orang itu akrab dengan yurisprudensi Islam dan pengalaman medan perang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejauh ini, kami tak tahu siapa yang menunggu untuk menggantikan dia, tapi Anda bisa percaya bahwa ISIS telah menunjuk seseorang," jelas mantan Duta Besar AS untuk Irak sekaligus utusan khusus untuk Suriah, James Franklin Jeffrey kepada NBC News.
Jeffrey lalu berkata, "Masa simpan seorang pemimpin ISIS akhir-akhir ini sekitar tiga tahun, jadi mereka siap untuk kemungkinan itu."
Jarak dari tewasnya Qurayshi ke masa kepemimpinan yang baru nyaris tepat tiga tahun. Mereka mau tak mau harus segera menunjuk pemimpin baru dengan kriteria yang sudah ditimbang matang-matang.
Gaya kepemimpinan ala Qurayshi yang tampak senyapitu membuat jumlah anggota ISIS tak jelas persisnya sehingga mereka sulit dilacak. Apalagi, intelijen AS yang fokus ke hal itu lebih secuil.
AS dan sekutu mungkin akan kesulitan menyusun portfolio yang akurat dan menyusun strategi baru.
Perang bergeser dari konflik militer tradisional ke konflik yang fokus pada pengumpulan intelijen dan serangan terhadap tokoh tertentu. Hal ini bisa menjadi pertukaran yang nyata.
Mengingat ketahanan ISIS, ada sedikit alasan serangan itu menjadi lonceng kematian yang diharapkan AS. Pembunuhan yang ditargetkan memang jarang terjadi.
Namun, organisasi tersebut akan terus bangkit usai Qurayshi tewas, sebagaimana saat mereka bangkit ketika kehilangan Baghdadi.
Artinya, AS kemungkinan akan terus melakukan serangan sporadis terhadap target yang dinilai penting di masa depan.
"Siapapun yang memimpin ISIS selanjutnya akan bertekad melanjutkan perjuangan dan AS kemungkinan akan merespons (terlepas) apakah presiden mengakui Amerika sedang berperang atau tidak," ucap Clirke.
(isa/bac)