Berikut lima alasan Rusia tak akan pernah bergabung dengan NATO versi Moscow Times.
NATO mengharuskan anggotanya agar sipil punya kendali atas pasukan bersenjata mereka, sehingga menjadi demokratis. Ini merupakan prinsip dasar yang memungkinkan integrasi militer dan interaksi antar anggota.
Walaupun anggota aliansi itu memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, mereka punya anggaran pertahanan yang transparan soal urusan militer. Dana itu bisa diawasi oleh publik dan legislatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut meliputi penyelidikan independen atas kegagalan dan pelanggaran militer, kontrol parlemen, dan cara dana dialokasikan.
Pengalokasian dana itu digunakan meliputi program senjata, keseimbangan konstitusional dari seorang pemimpin yang mengirim pasukan dalam operasi militer asing.
Di Rusia kontrol sipil atas militer mencederai prinsip dasar struktur kekuasaan negara. Setiap kekuatan otokratis, menolak akuntabilitas publik di semua bidang pemerintahan, terutama urusan militer.
Alasan lain, Rusia menolak keras persyaratan transparansi dalam urusan militer. Mereka sangat sensitif untuk berbagi "rahasia militer" dengan NATO, utamanya mengenai kekuatan nuklir.
Sejarah buruk di era Uni Soviet juga yang membuat Rusia kini masih 'alergi' dengan NATO.
Soviet sempat membentuk aliansi militer blok Timur, Pakta Warsawa. Namun setelah negara komunis itu runtuh, aliansia itu juga bubar.
NATO kini dianggap sebagai aliansi yang secara inheren anti-Rusia. Semua pembicaraan tentang strategi blok ini dianggap menargetkan Moskow.
Ketakutan ini tercermin dalam strategi militer terbaru Rusia, yang menempatkan NATO sebagai bahaya teratas.
Mereka menentang setiap kerjasama, termasuk proyek bersama di Afghanistan dengan aliansi, yang dipandang sebagai alat agresi imperialis AS dan ekspansi militer.
Alasan lainnya yakni kemesraan antara Rusia dan China sejauh ini. Jika Rusia menjadi anggota NATO, mereka akan semakin memperluas wilayah aliansi ke China.
Hal tersebut akan mengganggu keseimbangan keamanan global antara NATO, Rusia dan China.
Selain itu, keanggotan tersebut akan menimbulkan asumsi Rusia dan NATO bergabung untuk menahan atau bahkan melemahkan China.
Meski demikian, usaha Amerika Serikat atau NATO yang akan ditujukan ke China atau Iran tidak boleh dikesampingkan. Jika Rusia gabung ke NATO, secara otomatis akan menjadi sasaran serangan balik Beijing atau Teheran.
Untuk menghindari skenario ini, Rusia harus menuntut netralitas militer yang ketat dari NATO.
Jika Rusia menjadi anggota NATO secara otomatis akan keluar dari Pakta Pertahanan Keamanan Kolektif (CSTO). Organisasi ini merupakan aliansi militer-politik antara enam negara eks Uni Soviet yakni Rusia, Kazakhstan, Belarus, Armenia, Tajikistan, dan Kirgistan.
CSTO bersaing dengan NATO untuk mendapatkan pengaruh di sektor keamanan global.
"Apa arti keanggotaan NATO jika Rusia telah menciptakan kerangka keamanannya sendiri dengan sekutunya dan sistem fungsi keamanan kolektif ini? dengan baik?" kata kepala CSTO saat itu, Nikolai Bordyuzha.
Rusia sangat berambisi untuk memulihkan status negara adidaya sebagaimana saat masih bergabung dengan Uni Soviet. Jika Moskow menjadi anggota NATO, harapan itu isapan jempol belaka.
Hal tersebut juga menjadi validasi bahwa Rusia secara de facto berada di bawah Amerika Serikat dalam organisasi keamanan terbesar dan paling berpengaruh di dunia.
Bagaimanapun, Kremlin ingin mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan sebagai kekuatan regional dan global. Mimpi itu tak mungkin tercapai jika menjadi Moskow anggota NATO, dan Amerika Serikat di pucuk pimpinan aliansi.
(isa/bac)