Sederet masalah menyeret Ukraina ke dalam konflik dengan Rusia yang makin membara.
Baru-baru ini, Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis di Ukraina sebagai Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk.
Lihat Juga : |
Selain itu, Rusia mengklaim memiliki hak untuk membangun pangkalan militer di dua wilayah tersebut. Putin juga mengerahkan pasukannya ke dua daerah ini untuk 'menjaga keamanan.'
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, sudah delapan tahun berlalu sejak wilayah timur Ukraina ini menjadi titik panas perebutan. Sejak konflik ini dimulai pada 2014, pasukan Ukraina dan kelompok separatis pro-Rusia kerap terlibat bentrok, menewaskan lebih dari 14 ribu orang.
Berikut sejumlah pemantik konflik Rusia vs Ukraina:
Saat presiden Ukraina yang pro-Rusia dikeluarkan dari jabatannya akibat protes besar di Februari 2014, Rusia menggunakan kesempatan ini untuk mencaplok Semenanjung Crimea dari Ukraina, dikutip dari Associated Press.
Pencaplokan ini kemudian menjadi pemicu munculnya gerakan separatis di wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbas. Kebanyakan masyarakat di wilayah ini berbicara bahasa Rusia.
Di 2014, kelompok separatis yang didukung Rusia menguasai gedung pemerintah di wilayah Donetsk dan Luhansk, sekaligus mengklaim pembentukan 'republik rakyat' dan melawan pasukan Ukraina.
Beberapa bulan setelahnya, wilayah separatis ini menggelar pemungutan suara untuk mendeklarasikan kemerdekaan mereka dan mengajukan tawaran untuk menjadi bagian dari Rusia. Moskow sendiri belum menerima mosi ini, tetapi menggunakan kedua wilayah itu untuk menjaga Ukraina tetap menjadi kekuasaannya sekaligus mencegah Kiev masuk ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Ukraina dan kubu Barat menuduh Rusia menyuplai kelompok separatis ini dengan tentara dan senjata. Moskow membantah tuduhan tersebut, menyatakan warga Rusia bertarung di sana atas keinginan mereka sendiri.
Setelah pasukan Ukraina berhasil dikalahkan pada Agustus 2014, utusan dari Kiev, pemberontakan, dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) menandatangani gencatan senjata di ibu kota Belarus, Minsk, pada September 2014.
Ada beberapa hal yang disepakati dalam perjanjian itu, yakni gencatan senjata yang diawasi OSCE, penarikan seluruh pasukan asing, pertukaran tahanan dan sandera, pengampunan bagi pemberontak, dan janji wilayah separatis dapat memiliki tingkat pemerintahan sendiri.
Namun, perjanjian ini batal dan perang besar kembali terjadi. Pasukan Ukraina di Debaltseve kalah dalam perang yang berlangsung pada Januari hingga Februari 2015.
Prancis dan Jerman kemudian menginisiasi perjanjian damai baru, yang ditandatangani di Minsk pada 2015 oleh perwakilan Ukraina, Rusia, dan pemberontak.