Jakarta, CNN Indonesia --
Pemimpin negara bagian Chechnya (Chechen) di Rusia, Ramzan Kadyrov, telah mengerahkan pasukan ke Ukraina pekan lalu untuk membantu Moskow.
Jauh sebelum membantu Rusia, bangsa Chechen memiliki sejarah yang kelam dalam perjuangan mempertahankan wilayahnya. Berikut deret sepak terjang pasukan Chechen.
1. Pernah Berontak dari Rusia
Saat Uni Soviet runtuh pada 1991, Chechnya memerdekakan diri dari Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu tahun kemudian, mereka mengadopsi konstitusi yang mendefinisikan sebagai negara sekuler independen yang diperintah presiden dan parlemen.
Lalu pada 1994 hingga 1996, pasukan Rusia menginvasi Chechnya untuk menghentikan gerakan kemerdekaan. Mereka pun terlibat pertempuran sengit. Imbas kejadian itu, sekitar 100 ribu orang tewas.
Perang kembali meletus pada Agustus 1999-200. Saat itu Putin melancarkan operasi militer ke negara tersebut karena gerilyawan Chechnya menyeberang dan memasuki wilayah Dagestan, Rusia.
Saat perang berkecamuk Putin masih menjabat sebagai perdana menteri. Sebagai bentuk tanggung jawab Rusia, mereka mengucurkan dana Chechnya untuk memulihkan infrastruktur.
2. Melakukan Penangkapan
Dalam beberapa tahun terakhir pasukan Kadyrov melakukan penangkapan, penyiksaan atau hal-hal lain yang melanggar hak asasi manusia.
Pasukan Chance disebut kerap melakukan penangkapan secara semena-mena terhadap semua kalangan.
Mereka yang ditangkap diantaranya kelompok milisi, kritikus pemerintah, dan warga yang dicurigai gay.
3. Melakukan Penyiksaan
Pasukan ini juga dilaporkan sering melakukan penyiksaan. Pada 2019 lalu, misalnya, eks pengawal Kadyrov, Umar Israilov, pernah disiksa sang pemimpin sebelum ditembak mati di Wina, Austria.
Di tahun yang sama lawan Kadyrov, Sulim Yamadayev juga bernasib serupa. Ia ditembak mati di Dubai, Uni Emirat Arab.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
4. Terlibat Operasi Militer di Suriah
Sebelum mengirim pasukan ke Ukraina, Chechnya juga pernah mendukung operasi militer Kremlin di Suriah.
Kadyrov saat itu mengaku akan dengan senang hati mengirim pasukan ke Suriah untuk memerangi "sampah". Pernyataan ini, muncul usai media Rusia melaporkan pasukan Chechnya siap berangkat ke negara Timur Tengah untuk melindungi pangkalan udara Moskow.
Ia juga menyatakan siap perang melawan terorisme internasional.
"Saya akan senang dan bangga jika pergi ke Suriah memerangi sampah (atas perintah Presiden Vladimir Putin). Musuh harus dihancurkan di sarangnya sebelum tentakelnya mencapai tanahmu," kata Kadyrov dikutip The Guardian.
Rusia telah melancarkan kampanye udara untuk mendukung presiden Suriah, Bashar al-Assad, sejak September 2015. Sebagai balasan Moskow mendapat wilayah untuk pasukannya di negara itu.
5. Bantu Pasukan Rusia Serbu Georgia
Kadyrov juga disebut mengirim pasukan ke Georgia untuk membantu Rusia.
Rusia dan Georgia telah lama berselisih soal upaya negara ini menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Uni Eropa dan NATO.
Moskow mengobarkan perang berdarah pada Agustus 2008 lalu di wilayah separatis Georgia di Ossetia Selatan dan Abkhazia demikian dikutip The Guardian.
Ketika itu, pasukan Rusia menduduki sebagian besar wilayah Georgia dan membom sasaran militer dan sipil.
Rusia bersedia menarik diri dari Georgia setelah gencatan senjata yang dimediasi oleh Uni Eropa.
Setelah perang, Moskow mengakui kedua wilayah separatis sebagai negara merdeka dan menempatkan pangkalan militer permanen di sana. Sementara itu, Georgia bereaksi dengan memutuskan hubungan diplomatik.
6. Bantu Rusia Lawan Ukraina
Kasus Ukraina tak beda jauh dengan Georgia. Rusia tak ingin Kiev bergabung dengan NATO dan menuntut negara ini netral.
Konflik yang berkepanjangan itu membuat Moskaw memutuskan menginvasi Ukraina. Pertempuran pun terus terjadi. Rusia disebut kewalahan.
Tak lama setelah itu, Kadyrov mengirim pasukan untuk membantu Rusia.
Kadyrov diketahui dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Ia bahkan mengaku sebagai prajurit pemimpin Negeri Beruang Merah itu.
"Presiden (Putin) mengambil keputusan yang tepat dan kami akan melaksanakan perintahnya dalam kondisi apa pun," kata Kadyrov dalam video singkat dikutip Reuters.
Beberapa waktu lalu, Kadyrov mengklaim belum ada personel yang tewas bahkan sakit. Namun, pada Selasa (1/3) ia melaporkan dua personelnya tewas dan enam lainnya mengalami luka-luka di Ukraina.