Jakarta, CNN Indonesia --
Crimea banyak berubah usai militer Rusia menduduki wilayah itu beberapa tahun silam. Salah satu yang terdampak yakni Administrasi Spiritual Muslim Crimea dipimpin oleh Mufti Emirali Ablaev.
Mufti kemudian diketahui memihak pada pemerintah Rusia dan mengubah perkumpulan itu menjadi 'Organisasi Keagamaan Pusat Administrasi Spiritual Muslim Republik Crimea dan Sevastopol (Mufti Taurian)'.
"Semua komunitas Muslim di Crimea harus mendaftarkan diri di bawah yurisdiksinya," tulis laporan Administrasi Spiritual Muslim Republik Otonomi Crimea melalui rilis yang diberikan Kedubes Ukraina untuk Indonesia kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat sekitar 700 hingga 1.000 komunitas Islam di semenanjung Crimea sebelum diduduki Rusia. Sebanyak 339 di antaranya adalah Administrasi Spiritual Muslim Crimea sementara banyak komunitas lainnya tidak terdaftar secara resmi, sebagian besar dari komunitas itu diketahui merupakan Hizbut Tahrir.
Selanjutnya, sekitar 50 ribu orang Tatar Crimea terpaksa meninggalkan wilayahnya dan memutuskan pindah ke Ukraina. Mereka berkumpul di berbagai kota dan desa dan membentuk suatu komunitas agama.
Pada tahun 2016, komunitas itu bersama dengan organisasi muslim lain di Ukraina membentuk Administrasi Spiritual Muslim Republik Otonomi Crimea. Sampai saat ini, dilaporkan setidaknya 21 komunitas keagamaan dari berbagai daerah di Ukraina telah bergabung.
"Tatar Crimea membentuk komunitas keagamaan di hampir semua tempat di mana mereka tinggal, untuk melakukan doa bersama terutama pada hari Jumat dan hari libur, serta untuk menjalankan ibadah seperti berdoa, upacara pemakaman, dan lain-lain," lanjut mereka.
Doa bersama biasanya dilakukan di masjid-masjid, yang banyak didirikan di Crimea, dan di ruang khusus untuk salat. Selain itu, biasanya, jemaah memilih seorang Imam yang dapat memimpin salat berjamaah, dapat membaca Al-Qur'an, memiliki riwayat pendidikan agama yang sesuai, atau yang paling berpendidikan dalam hal keagamaan di antara anggota masyarakat.
Belenggu Musim Crimea
Menurut otoritas pendudukan, selama 8 tahun terakhir sebanyak 40-50 masjid telah dibangun dan direnovasi di Crimea. Namun faktanya adalah, seiring dengan dibangunnya masjid-masjid baru, banyak juga terjadi kasus penutupan masjid serta pemutusan listrik dan infrastruktur masjid lainnya.
Contohnya, masjid di desa Ay Serez, kota Sudak pada 2 Juli 2016. Kemudian pada April 2019 ada delapan masjid, yaitu Masjid Juma-Jami dan masjid wilayah Ismail Bay di Yevpatoria, masjid Taraktasha di desa Dachne, kota Sudak, masjid di Alushta, masjid di desa Bogatovka, kota Sudak, masjid-masjid di desa Viktorivka dan Golubinka, kota Bakhchysarai, di desa distrik Uvarovka.
Adapun jumlah masjid di Crimea pada tahun 2003 adalah 124 dan sebelum pendudukan militer Rusia angka tersebut mencapai sekitar 300.
"Semua kasus ini terjadi atas dasar tuntutan dari otoritas pendudukan, agar semua komunitas Muslim di Crimea dikendalikan sepenuhnya oleh Organisasi Keagamaan Pusat Administrasi Spiritual Muslim Republik Crimea dan Sevastopol," kata mereka.
Tak hanya itu, Administrasi Spiritual Muslim Crimea disebut tidak hanya memaksa setiap komunitas dan masjid untuk bergabung, tetapi juga mengontrol penuh perkataan dan pemikiran umat.
Setiap Imam yang melaksanakan salat Jumat, baik di masjid atau di rumah doa, di kota atau di desa, menerima teks khutbah Jumat dari 'Mufti', kemudian mereka harus membacanya.
Belum cukup, setiap masjid diawasi dengan rekaman audio dan video. Ada pula petugas rahasia dari Dinas Keamanan Federal Federasi Rusia yang menyusup di antara jemaah. Mereka disebut telah memprovokasi umat Islam untuk berbicara tentang politik.
"Kemudian, rekamannya digunakan sebagai bukti kegiatan 'teroris' puluhan umat Islam Crimea," terang pernyataan itu.
Imam dan komunitas yang tidak menuruti peraturan Mufti akan dipanggil untuk membayar denda administratif atas tuduhan berkhotbah tanpa izin. Kasus yang terakhir yaitu Іmam Masjid Yukari Jami di kota Alushta, Yusuf Ashirov, yang divonis untuk membayar denda sebesar lima ribu rubel pada Juni 2020.
Kemudian pada Juni 2021, kasus yang datang Іmam dari Sudak, Ablyakim Galiyev. Ia divonis untuk membayar denda sebesar lima ribu rubel pada November 2020. Ada pula Imam dari Belogorsk, Murtazi Ablyazov, yang divonis membayar denda sebesar lima belas ribu rubel pada Februari 2021 karena salat Jumat tanpa sertifikat Mufti.
Kasus serupa juga terjadi pada Arsen Kantemirov, Asan Bekirov, Rasim Darvishev dan Imam-imam lainnya di Crimea. Secara keseluruhan, lembaga hak asasi manusia mencatat ada lebih dari 100 kasus 'tuduhan berkhotbah tanpa izin' selama pendudukan Rusia.
Lebih lanjut, sebelum invasi Rusia pada 20 Februari 2014 silam, ada beberapa sekolah teologi di Crimea, yaitu Madrasah Seit-Settar dan Perguruan Tinggi Madrasah di kota Simferopol, Madrasah Azov, Madrasah Pengawal Merah Khafiz.
Kemudian Madrasah Lelaki Crimea Lama, Sekolah Tinggi Hafiz di desa Kolchugino, Madrasah Perempuan di desa Kamenka, Madrasah di Saki. Saat ini, hanya Madrasah Azov dan pusatnya Cabang Hafiz di kota Krasnogvardeysk yang masih beroperasi.
"Selama pendudukan Rusia, sekolah-sekolah Islam selalu berada di bawah pengawasan dan sering kali dirazia. Sebagai contoh, pada 24 Juni 2014 Sekolah Tinggi Hafiz di desa Kolchugino dan semua Madrasah di Crimea pada bulan Agustus 2014 dirazia," lanjut mereka.
Mereka juga menuturkan sejumlah kasus lain seperti pusat kebudayaan Islam di Simferopol yang dirazia sebanyak tiga kali pada 26 Agustus 2014, 28 Januari dan 6 September 2016. Kemudian, tiga masjid lainnya yaitu Borchokrak Jamisi di Simferopol, Masjid Takhtali di Yevpatoria, Derekoy di Yalta dirazia pada September 2014.
Masjid Kamyanka di Simferopol dirazia pada 20 Mei 2015. Masjid Koreiz, Simeiz, Derekoy dan Ai-Vasily dirazia pada Oktober 2016 dan yang terakhir, Masjid Khan Jami di Yevpatoria dirazia pada 14 November 2016.
"Saat menjalankan ibadah salat Jumat, para petugas keamanan Rusia berulang kali memeriksa dokumen jemaah, melakukan penangkapan, dan mengumpulkan DNA mereka secara paksa dari bulan April hingga Desember 2016 di masjid-masjid di Sevastopol, desa Molodizhne di Simferopol, desa Vishen dan Orlovka di dekat Sevastopol," kata mereka.
Mayoritas buku yang disita oleh petugas Rusia kemudian dilabeli sebagai sastra ekstremis. Padahal sebelum pendudukan Rusia, buku-buku tersebut tidak dilarang di Ukraina dan dapat diakses secara bebas di Crimea.
Buku-buku itu di antaranya seperti kumpulan doa-doa harian, biografi Nabi Muhammad dan bahkan terjemahan dan interpretasi Al-Qur'an.
Petugas Rusia juga menggeledah sekolah dan perpustakaan Crimea untuk mencari buku-buku terlarang pada periode September-Oktober 2014. Contohnya, sekolah №4 di Belogorsk, sekolah Tatar Crimea di Zuya, pesantren untuk anak berbakat di desa Tankove, perpustakaan di kota Kerch dan perpustakaan Universitas Nasional Tavriya.
Pencarian buku ekstremis kemudian sering dijadikan alasan utama atau tambahan untuk melakukan razia di rumah umat Islam Crimea. Razia dilakukan secara berkala di Crimea. Tercatat, orang yang dirazia dan dipenjara terbanyak di Crimea adalah orang Muslim.
Larangan Organisasi Keagamaan dan Dugaan Penyiksaan
Setelah pendudukan Rusia di Crimea, kelompok Hizbut Tahrir dilarang untuk beraktivitas karena dianggap sebagai organisasi teroris di Rusia. Umat Islam yang dicurigai sebagai anggota organisasi ini yang disebut hampir 10 ribu orang dianiaya, digeledah, ditangkap, dan dihukum penjara untuk waktu yang lama.
Saat ini, 84 orang telah ditangkap di Crimea karena terlibat kasus Hizbut Tahrir. Sebagian besar dari mereka telah dijatuhi hukuman penjara 13-19 tahun di berbagai penjara Rusia. Mereka ditangkap atas dasar kesaksian dari saksi rahasia dan rekaman audio yang merekam percakapan mereka tentang agama.
Empat orang Muslim kemudian dilaporkan dan dihukum karena berpartisipasi dalam organisasi pasifis Islam 'Jamaah Tabligh', yang merupakan organisasi yang ditetapkan sebagai kelompok ekstremis di Rusia dan dilarang di lima negara: Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Cina.
"Ini adalah praktik yang sering dilakukan oleh petugas Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) di Crimea untuk menculik orang Muslim, mengancam atau menyiksa mereka untuk memberikan hal-hal yang diperlukan petugas untuk menangkap orang Muslim lain, atau untuk menjadikan mereka agen rahasia permanen,"
Mereka diculik, atau dibawa ke hutan atau ruang bawah tanah dengan ancaman kekerasan. Jika seseorang tidak mau bekerja sama, ada ancaman akan disiksa dengan sengatan listrik. Setelah disiksa, orang itu biasanya setuju untuk menandatangani dokumen untuk bersaksi kemudian harus membaca teks yang disiapkan oleh petugas Rusia di depan kamera.
Setelah itu, jika dia menyebarkan informasi tentang apa yang terjadi padanya, maka kerabatnya akan terkena imbasnya. Oleh sebab itu, hanya sedikit yang berani bersaksi secara terbuka tentang penyiksaan yang mereka derita.
Seperti Nariman Ametov dari kota Staryi Krym, yang menjadi target penyiksaan pada 17 Desember 2021. Selanjutnya adalah Kurtumer Chalgozov dari desa Primorskoe dekat kota Feodosia, yang pada 14 Desember 2021 dipaksa untuk menandatangani surat-surat tertentu atau diancam akan disiksa.
Belenggu Bagi Muslim yang Sudah Wafat
Warga Muslim di Crimea tidak bebas dalam menganut agama mereka lantaran dibatasi hukum. Pada Oktober 2021 misalnya, Pengawal Merah menggeledah sel seorang anggota kelompok Hizbut Tahrir saat persidangan berlangsung. Banyak barang pribadi yang disita, termasuk Al-Quran, sajadah, dan obat-obatan.
Tindakan serupa terjadi berulang kali saat pemindahan terpidana Muslim. Pada tahun 2021, Ayder Saledinov dan Rustem Ismailov ditempatkan di sel isolasi karena melakukan salat Idul Adha di malam hari.
Seringkali orang Muslim juga sengaja diberi makan daging babi, seperti yang sering terjadi di pusat penahanan pra-sidang nomor 3 wilayah Rostov, atau diberikan makanan ransum kering saat sidang pengadilan, seperti yang terjadi pada 30 Maret 2021 dalam kasus 'Hizbut Tahrir kedua di Simferopol'.
Perlakuan 'pengekangan' juga menimpa warga muslim yang meninggal dunia. Seperti seorang warga negara Uzbekistan, Ayyub Rakhimov, yang tewas karena dieksekusi di kota Simferopol pada tanggal 11 Mei 2021, kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rakhimov tidak diizinkan untuk dikuburkan menurut adat Islam, meskipun pengacara dari pihak istrinya kerap meminta hal tersebut.
Selain itu, tak jarang dibangun berbagai fasilitas umum di tempat pemakaman orang Muslim di Crimea, seperti di desa Shuma, Verkhnyaya Kutuzova, dekat kota Alushta. Pada musim gugur tahun 2021 sebagian dari pemakaman orang Muslim digali untuk pembangunan sebuah pondok dan taman, sementara tulang belulang yang telah hancur dibuang ke hutan.
Kejadian serupa terjadi di desa Ak-Monai, Kamenske, wilayah Leninsky. Dilaporkan pipa gas dibangun melewati pemakaman orang Muslim, sehingga tidak ada lagi bekas jenazah. Di kota Evpatoria, di lokasi pemakaman orang Muslim akan dibangun arena skating oleh otoritas pendudukan.
"Oleh karena itu, berdasarkan fakta dan statistik di atas, kami melihat adanya tindak pelanggaran secara sistematis terhadap hak dan kebebasan orang beragama di Crimea sejak awal pendudukan Rusia pada tahun 2014 hingga kini," pungkas mereka.