Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, melakukan panggilan telepon dengan Presiden China, Xi Jinping, pada hari ini, Jumat (18/3) waktu setempat.
Ada sejumlah alasan komunikasi dua petinggi negara itu penting dilakukan, terlebih ketika Washington menekan China untuk tidak mendukung invasi Rusia ke Ukraina.
Melansir dari CNN, komunikasi ini merupakan titik balik potensial bagi hubungan kedua negara yakni AS dan China. Para pejabat Gedung Putih mulai mengamati secara khusuk kemitraan yang dibangun antara Xi Jinping dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih sikap yang diambil China terhadap invasi Rusia ke Ukraina semakin membuat pengamat Barat khawatir dan resah. China selama ini terlihat tidak sepenuhnya mendukung atau menentang secara langsung. Sikap tidak pasti itu membuat Biden berharap untuk 'mempengaruhi' Jinping pada obrolan hari ini.
Pejabat Gedung Putih kemudian memperkirakan panggilan telepon itu bisa menjadi intens. Lantaran pertemuan pembuka antara pembantu kedua pemimpin tersebut telah berlangsung selama tujuh jam pada awal pekan ini.
Biden menaikkan 'taruhannya' ketika ia menyinggung panggilan sehari sebelumnya, ia menyatakan rekannya dari China 'tidak percaya demokrasi dapat dipertahankan di abad ke-21,'.
Berikut lima alasan mengapa pertemuan Biden dan Jinping itu cukup penting.
1. Ajakan Obrolan Datang Saat Panas Perang Rusia vs Ukraina
Berdasarkan keterangan pejabat AS, China sedang mempertimbangkan antara memberikan bantuan militer atau keuangan kepada Rusia setelah kekuatan militer Rusia diklaim mengalami kerugian besar di Ukraina.
Apabila China setuju, kondisi itu bisa mengurangi kedekatan hubungan dengan negara Barat selama beberapa dekade mendatang.
"Kami khawatir bahwa mereka mempertimbangkan untuk secara langsung membantu Rusia dengan peralatan militer untuk digunakan di Ukraina," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, membenarkan kabar yang telah diserukan oleh pejabat AS lainnya selama beberapa hari terakhir.
Selain itu, AS telah menyampaikan kepada beberapa sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bahwa mereka yakin China memiliki 'kemauan' untuk mendukung Rusia, meskipun Rusia telah menyangkal meminta bantuan dan China mengatakan tidak memberikan bantuan apa pun kepada Rusia.
Para pejabat AS juga mengatakan mereka yakin Jinping merasa gelisah oleh invasi Rusia di Ukraina.
Memantau dari Beijing, Jinping disebut-sebut terkejut bahwa intelijennya sendiri tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi, meskipun AS telah memperingatkan invasi selama berminggu-minggu, kata para pejabat.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
2. China Berpeluang Mendukung Rusia
Para pejabat AS tidak percaya bahwa China akan bersedia memberi Rusia peralatan ofensif besar seperti tank atau jet. Sebaliknya, para pejabat mengatakan mereka percaya kemungkinan besar China akan mengirim barang-barang yang lebih kecil seperti makanan, amunisi, suku cadang, atau peralatan pengawasan.
Para pejabat menilai masih ada kemungkinan China membantu Rusia dalam mengurangi dampak dari melemahnya sanksi Barat, dukungan itu kemungkinan melalui dukungan pendanaan.
Melalui panggilan telepon mereka, Biden berharap mampu menjelaskan kepada Jinping soal kerugian yang akan China keluarkan apabila bersedia membantu perang Rusia, baik itu melalui bantuan militer ataupun secara finansial.
Biden akan menjelaskan bahwa China nantinya akan bertanggung jawab atas tindakan mendukung agresi Rusia dan AS tidak akan ragu untuk 'membebankan biaya'.
Lebih lanjut, dapat diasumsikan bahwa Jinping akan 'mengamankan' masa jabatan ketiga yang bersejarah dalam kekuasaan selama Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis di Beijing pada musim gugur ini. Selama masa-masa yang begitu penting, para ahli Barat percaya Jinping akan sangat memperdulikan risiko ekonomi yang ditimbulkan oleh sanksi sekunder.
Nilai perdagangan antara Uni Eropa dan China diketahui mencapai 800 miliar dolar AS tahun lalu dan nilai perdagangan AS-China lebih dari 750 miliar dolar AS. Sementara nilai perdagangannya dengan Rusia hanya di bawah 150 miliar dolar AS. Bocoran itu diketahui berdasarkan data resmi China.
Biden dan pemerintahannya telah menolak untuk secara terbuka membahas opsi apa yang mereka pertimbangkan, tetapi ia dengan tegas telah memperingatkan bahwa akan ada 'konsekuensi' bagi China jika mereka mendukung Rusia.
3. Kemitraan 'Berbahaya' Antara Rusia dan China
Para pejabat AS mengaku sudah was-was dengan hubungan Putin dan Jinping yang semakin dekat bahkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Direktur CIA Bill Burns mengatakan pekan lalu bahwa kemitraan kedua negara itu berakar pada faktor 'berdarah dingin'.
Kedua pemimpin negara itu menyatakan hubungan mereka 'tidak terbatas' dalam sebuah dokumen panjang pada bulan Februari lalu, ketika Putin mengunjungi Beijing untuk 'rapat' dan menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin.
Dokumen tersebut memperlihatkan China mendukung permintaan pusat Rusia ke Barat. Kedua belah pihak menentang perluasan lebih lanjut dari NATO.
Sejak itu, kemitraan tanpa batas telah diuji saat Jinping juga mempertimbangkan bagaimana merespons perang Rusia di Ukraina. Respons Beijing yang berkembang, seperti menyangkal invasi akan terjadi hingga mencoba menghindari kecaman Barat dengan menampilkan negaranya yang bersedia untuk berpartisipasi dalam mediasi--telah dipantau secara ketat oleh Gedung Putih.
Pejabat AS kemudian melihat sinyal yang berbeda. Ketika China abstain dari pemungutan suara PBB untuk kecam Rusia, hal itu dipandang sebagai tanda Beijing mulai menjauhkan diri. Seorang pejabat tinggi China mengatakan bulan lalu bahwa kedaulatan Ukraina harus dihormati.
Tetapi tanda-tanda lain telah menunjukkan sikap yang lebih akomodatif, termasuk penguatan disinformasi Rusia oleh China. Para pejabat tinggi AS mengatakan kurangnya kecaman adalah indikasi yang cukup tentang di mana kesetiaan asli China.
"Kami percaya China secara khusus memiliki tanggung jawab untuk menggunakan pengaruhnya dengan Presiden Putin dan untuk mempertahankan aturan dan prinsip internasional yang dianut untuk mendukungnya," kata Blinken, Kamis (17/3).
"Sebaliknya, tampaknya China bergerak ke arah yang berlawanan dengan menolak untuk mengutuk agresi ini sambil berusaha menggambarkan dirinya sebagai penengah yang netral," imbuhnya.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
4. Sekutu AS di Asia Awasi Reaksi China Terhadap Invasi Rusia dengan Cermat
Invasi Rusia ke Ukraina telah melanggar kedaulatan dan membawa Eropa ke dalam konflik terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Invasi itu juga telah menimbulkan riak kecemasan ke seluruh dunia. Salah satu wilayah yang diawasi dengan ketat adalah Taiwan.
Beijing baru-baru ini juga telah meningkatkan pergerakan angkatan udara di dekat Taiwan, sambil memperingatkan terhadap dukungan AS. Sementara pada hari-hari awal konflik Ukraina, ada kekhawatiran invasi Rusia dapat menandakan invasi China ke Taiwan, meskipun tampaknya tidak akan terjadi invasi.
Para pejabat Amerika sejak itu meremehkan keterkaitannya, sementara respons dukungan terhadap Rusia dapat menyebabkan China memikirkan kembali seluruh rencana terhadap Taiwan.
Invasi Rusia telah melecut tidak hanya Barat dan NATO tetapi juga negara-negara di Asia-Pasifik. Bahkan beberapa di tim keamanan nasional Biden sendiri terkejut melihat seberapa cepat beberapa sekutu AS di Asia, termasuk Jepang dan Australia, bersedia menjatuhkan sanksi terhadap Rusia setelah invasinya.
5. Hubungan Dekat Biden dan Jinping Memiliki
Biden gemar mengklaim bahwa ia telah menghabiskan waktu yang panjang bersama Jinping ketika keduanya menjabat sebagai wakil kepala negara mereka masing-masing. Biden mengklaim lagi bahwa ia paling banyak menghabiskan banyak waktu bersama Jinping ketimbang pemimpin negara lain.
Namun mereka belum pernah bertemu secara tatap muka sejak Biden menjabat sebagai presiden AS, dan Jinping tidak pernah meninggalkan China selama pandemi Covid-19 berlangsung.
Kondisi itu kemudian membuat mereka harus bertemu di konferensi daring atau berbicara melalui telepon. Biden yang dinamis mengatakan bahwa ia tidak menemukan sesuatu yang ideal.
Biden dan timnya telah bekerja untuk menetapkan kebijakan dalam mengelola persaingan mereka dengan China. Mereka juga sudah tidak memberlakukan tarif impor yang dikenakan oleh mantan Presiden Donald Trump dan mengkritik China karena tidak menegakkan komitmennya dari kesepakatan perdagangan era Trump.
Sebelum konflik di Ukraina, Biden tampak berniat memfokuskan kembali kebijakan luar negeri AS terhadap Asia, di mana ia memandang persaingan antara AS dan China sebagai tantangan yang menentukan abad berikutnya.
Dan sementara krisis Ukraina telah menyibukkan Gedung Putih dalam beberapa pekan terakhir, para pejabat bersikeras bahwa mereka masih dapat mempertahankan visi utama mereka.