Jakarta, CNN Indonesia --
Peperangan Rusia vs Ukraina tak kunjung reda sejak Presiden Rusia Vladimir Putin melancarkan operasi militer di wilayah Donbas, timur Ukraina, pada 24 Februari lalu.
Meski kedua negara tengah melangsungkan upaya negosiasi, dialog belum juga membuahkan kesepakatan mengakhiri perang. Rusia juga masih terus menggempur kota-kota di Ukraina.
Salah satu dalih Putin menggempur Ukraina adalah demi menghentikan praktik fasisme (denazifikasi) Ukraina yang diklaimnya dilakukan Kyiv terhadap warga berbahasa Rusia. Invasi juga dinilai Rusia penting untuk melindungi warga Ukraina dari "upaya genosida dan diskriminasi".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu denazifikasi pun menjadi salah satu topik utama yang dibawa Rusia ke meja perundingan dengan Ukraina.
Di sisi lain, Ukraina terus membantah tudingan Rusia soal indikasi praktik gerakan neo-nazi di negaranya.
Namun, Rusia menilai Ukraina telah menyembunyikan 'formasi militer Nazi yang diizinkan' dengan simbolisme, pelatihan, dan ideologi mereka sendiri.
Sejumlah orang menganggap tuduhan Putin terkait neo-Nazi Ukraina tidak masuk akal. Salah satunya karena Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy merupakan keturunan Yahudi dan mengklaim bahwa anggota keluarganya terbunuh selama Perang Dunia II.
Selain itu, hingga kini juga tidak ada bukti pembunuhan massal atau pembersihan etnis baru-baru ini yang terjadi di Ukraina.
Kendati demikian, sejumlah pihak menilai alasan Putin soal praktik neo-Nazi di Ukraina patut dipertimbangkan. Sebab, menurut mereka Putin bukanlah sosok pemimpin yang obral pernyataan seenaknya, apalagi hal itu bisa mengancam kredibilitas sebagai seorang pemimpin Rusia.
Melansir NBC News, menjelang perang dunia II, Ukraina merupakan rumah bagi salah satu komunitas Yahudi terbesar di Eropa, dengan perkiraan mencapai 2,7 juta orang.
Namun lebih dari setengahnya 'habis' ketika pasukan Nazi Jerman mengambil alih Kyiv pada 1941. Saat itu, pasukan Nazi Jerman bahkan disebut mendapat penyambutan dari Ukraina yang memasang spanduk 'Heil Hitler'.
Sesaat setelah itu, hampir 34 ribu orang Yahudi bersama dengan 'orang-orang yang tidak diinginkan' lainnya disebut ditahan dan digiring ke ladang di luar kota Kyiv untuk "dibantai".
Ukraina dalam beberapa tahun terakhir juga dilaporkan telah membangun banyak patung untuk menghormati tokoh nasionalis Ukraina. Banyak dari tokoh nasionalis itu dikenal luas sebagai pendukung Nazi.
Surat kabar Forward menuliskan Ukraina juga memiliki beberapa lusin monumen dan sejumlah nama jalan yang memuliakan kolaborator Nazi.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Teuku Rezasyah mengatakan, tuduhan neo-Nazi di Ukraina muncul dari "para kriminal" yang sengaja dinilai sebagai pendukung gerakan fasisme itu untuk mengusik masyarakat di negara itu, terutama di wilayah timur yang banyak dikuasai separatis pro-Rusia seperti Donetsk dan Luhansk.
Sebagian besar warga di timur Ukraina memang dekat dengan kultur Rusia. Mayoritas wagra di timur Ukraina seperti Donetsk dan Luhansk bahkan lebih fasih berbahasa Rusia.
Selama ini, Rusia juga telah memberikan status kewarganegaraan bagi banyak warga di timur Ukraina. Dalam salah satu pidatonya saat mengumumkan invasi Rusia, Putin bahkan berulang kali menegaskan bahwa Rusia dan Ukraina merupakan satu bangsa.
Rezasyah menambahkan, secara aspek hubungan internasional, fenomena kemunculan neo-Nazi sangat mengkhawatirkan negara Eropa. Ia lantas memandang, tuduhan Rusia bisa saja mengandung sejumput kebenaran lantaran Rusia memiliki kemampuan intelijen yang mumpuni.
Namun apabila klaim Putin ini terkonfirmasi, Ukraina kemungkinan akan menyatakan secara tegas bahkan membuktikan bahwa gerakan yang dicurigai neo-Nazi itu diprakarsai oleh sejumlah warganya dan bukan negara.
Ukraina, kata Rezasyah, harus tegas menyatakan bahwa gerakan neo-Nazi di negaranya tidak terafiliasi dengan pemerintah jika memang terbukti ada.
"Dan kita Indonesia harus adil atau netral di tengah ya. Perihal tuduhan Nazi ini, Rusia harus membuktikan dan memberikan informasi ke masyarakat melalui dialog dua negara terkait tudingan dan bantahan itu," kata Rezasyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (22/3).
Rezasyah menilai, tudingan Putin soal gerakan neo-Nazi di Ukraina berpotensi memiliki "dasar" lantaran Rusia memiliki kemampuan intelijen yang mumpuni. Apalagi sebelum menjabat sebagai presiden Rusia, Putin pernah menjadi petinggi Badan Intelijen Uni Soviet (KGB).
Rezasyah kemudian menyarankan agar Moskow-Kyiv merekrut negara pembanding bukti yang netral, seperti negara Skandinavia ataupun negara seperti Swedia, Denmark, ataupun Norwegia yang punya lembaga penelitian independen.
"Dengan latar belakang Putin dari intelijen, kemudian dia punya pengalaman mendalam tentang Eropa Timur. Tentu dia [Putin] tidak mau mempermalukan diri sendiri. Pasti dia punya data, dan data itu akan dikeluarkan saat negosiasi. Karena kalau Putin sembarangan begitu, maka bahaya, bisa membangun anti-Putin," kata dia.
Namun demikian, Teuku menilai negosiasi kedua negara ini masih akan berlangsung panjang. Apalagi dalam waktu dekat akan ada pertemuan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Rusia, lanjut Teuku, membutuhkan pernyataan legal dari Ukraina yang menyatakan bahwa memang ada gerakan Nazi di negaranya dan mau berkomitmen untuk memberantas gerakan yang dikhawatirkan akan mengancam kedaulatan Rusia itu.
"Kalaupun Ukraina didesak memberikan pernyataan dan 'kalah', maka mereka harus bikin statement bahwa misal ada gerakan neo-nazi itu, maka itu tidak berafiliasi dengan pemerintah dan berkomitmen kelompok itu harus dibubarkan, dan sisa-sisanya istilahnya dimusnahkan," ujar Rezasyah.
Berlanjut ke halaman berikutnya>>>
Siasat Putin Ancam Posisi Zelensky
Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai memang ada kemungkinan gerakan neo-Nazi terjadi di Ukraina. Namun ia juga berpendapat bahwa tuduhan Putin terhadap Ukraina itu merupakan sebuah 'ancaman' khususnya untuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Polemik ini menurutnya tak lepas dari ketidakinginan Vladimir Putin melepas legitimasinya. Putin bersikeras mempertahankan pengaruh Rusia sejak Ukraina menjadi negara berdaulat agar legitimasi itu terhapus, ia juga tidak ingin Rusia terancam kedaulatannya oleh kelompok yang diklaim neo-Nazi itu.
"Kalau menurut saya ya, kalau soal Nazi mungkin ada benarnya. Tapi menurut saya Putin mau memberikan pelajaran ke Zelensky, 'kalau kamu munculkan Nazi saya akan serang,' mungkin begitu," kata Hikmahanto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/3).
Hikmahanto juga menilai, Putin sengaja bersikap 'alot' lantaran ia akan memberikan prasyarat kepada Ukraina seiring dengan Zelensky yang 'ngotot' ingin bertemu Putin secara langsung untuk bernegosiasi akhiri perang.
Hikmahanto berpendapat, Putin menuntut setidaknya tiga syarat utama bagi Ukraina demi mengakhiri perang.
Pertama, Ukraina harus menyatakan diri sebagai negara yang netral. Kedua, jaminan terhadap NATO yang sudah berbicara proses hukum kepada Putin.
"Dan ketiga, Presiden Ukraina Zelensky kalau perlu turun jabatan dan diganti pemimpin siapapun itu yang pro-Rusia," kata dia.
Dosen Politik Timur Tengah UIN Jakarta, A. Ubaedillah juga menilai nasib denazifikasi tergantung hasil perundingan yang ditempuh kedua pemimpin negara itu. Namun ia tak menampik bahwa polemik ini merupakan siasat Putin dalam menghadapi Ukraina.
"Denazifikasi ini merupakan wacana yang dimainkan oleh Putin selain demiliterisasi Ukraina. Ideologi Nazi merupakan paham dan kekuatan ultranasionalisme yang mengancam eksistensi rakyat yang selama ini dilakukan oleh Zelensky. Propaganda Nazi ini dianggap Putin sebagai ancaman bagi rakyat Rusia yang berada di Ukraina," kata Ubaedillah.
Senada dengan Hikmahanto, Ubaedillah juga berpendapat isu denazifikasi ini lantas dimanfaatkan Putin sebagai siasat untuk menyingkirkan Zelensky, pemimpin Ukraina yang dinilai Rusia "ke Barat-baratan".
"Yang ada denazifikasi otomatis akan off, jika Zelensky menyerah atau digantikan oleh pemerintah Ukraina pro-Rusia," pungkasnya.
[Gambas:Photo CNN]