Jakarta, CNN Indonesia --
Hari ini Kamis (24/3) tepat satu bulan Rusia menginvasi Ukraina. Pasukan Kremlin di beberapa kota, termasuk Kiev, disebut kian melemah.
Sejumlah pengamat militer pun menilai operasi militer Rusia di negara eks Uni Soviet itu kacau dan tidak terkoordinasi dengan baik. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan mengakui bahwa Rusia hingga kini belum mencapai tujuan utamanya.
Berikut ini beberapa hal mengenai update terkini invasi Rusia di Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Rusia Berpotensi Tingkatkan Gempuran
Para ahli memperingatkan bahwa semakin banyak serangan Rusia di darat, semakin besar pula kemungkinan negara itu mengintensifkan pengeboman udara dan penggunaan rudalnya untuk membuat tentaranya tak terancam.
Tabloid pemerintah pro-pemerintah, Komsomolskaya Pravda sebelumnya sempat mengungkapkan bahwa Rusia telah kehilangan hampir 10.000 tentara dan 16.000 lainnya terluka. Bila hal itu benar, maka itu dapat menjelaskan berbagai penghentian pergerakan Rusia di darat dan peningkatan serangan bom udaranya serta serangan rudalnya yang kian memanas.
"Rusia masih memiliki kemampuan dan cadangan, dan akan ada peningkatan intensitas karena mereka berusaha membawa lebih banyak pasukan," kata Jeffrey Mankoff, seorang peneliti terkemuka di Institut Studi Strategis Nasional Universitas Pertahanan Nasional AS kepada CNN, dikutip Kamis (24/3).
"Akan ada lebih banyak pasukan dan peralatan lain serta bantuan, tentu saja, tetapi ada titik di mana akan sulit untuk mempertahankan tempo operasional semacam ini, terutama angka-angka yang telah kami dengar baik dari segi manusia dan kerugian materi, ketika melebihi kemampuan untuk memasok," kata Mankoff.
2. Rusia Mencoba Mengepung Pejuang Ukraina di Timur
Rusia diyakini mencoba mengambil seluruh bagian timur Ukraina. Daerah seperti Donetsk dan Luhansk, yang membentuk wilayah Donbas, sejak 2014 bahkan telah dikendalikan oleh separatis yang didukung Rusia.
Para ahli menilai, Rusia mungkin ingin melampaui Donbas. Dan itu diperkirakan masih menjadi fokus utamanya.
Pasukan Rusia juga diketahui masih berada di dekat Donetsk dan Luhansk. Pergerakan mereka menunjukkan bahwa Rusia mencoba mengepung Operasi Pasukan Gabungan (JFO) di tiga sumbu.
Sam Cranny-Evans, analis riset di Royal United Services Institute pun menilai pengepungan Rusia di Timur kemungkinan akan menjadi fokus utama negara itu. Hal itu dikarenakan jenis pasukan yang dikirim ke wilayah itu dapat dikatakan memadai.
"Distrik Militer Selatan [seperti] di Donetsk, Luhansk, Mariupol, Berdyansk, Melitopol adalah pasukan terbaik Rusia. Dan mereka selalu bekerja. Mereka dirancang untuk melawan NATO," kata Cranny-Evans kepada CNN.
3. Negosiasi Bakal Semakin Berlarut-larut
Perang antara Rusia dan Ukraina diyakini bisa menjadi konflik yang berlarut-larut. Rusia sejauh ini disebut telah kehilangan sejumlah besar tentara, senjata, dan peralatan selama perang.
Meski pernah terlibat konflik yang berlangsung lama di masa lalu, Rusia disebut tak akan mau membiarkan militernya hancur total. Oleh karenanya, besar kemungkinan pembicaraan antara kedua negara itu berlangsung panjang.
"Negosiasi adalah satu area di mana hal-hal tampak sedikit menjanjikan karena baik Rusia dan Ukraina telah mengatakan pada minggu lalu bahwa mereka bergerak menuju diskusi substantif yang sebenarnya," ujar Keir Giles, seorang Pakar Rusia di lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di Inggris kepada CNN.
Para pejabat Rusia mengatakan bahwa tuntutan mereka salah satunya yaitu agar Ukraina membatalkan langkahnya untuk bergabung dengan NATO. Mereka juga ingin mendemiliterisasi Ukraina dan membuat negara itu berada dalam status "netral".
Kondisi yang akan berdampak langsung bagi Ukraina itu tentu harus melalui negosiasi yang matang.
Meski begitu, para pejabat AS tak begitu yakin bahwa pembicaraan kedua negara akan berjalan baik. Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa solusi diplomatik untuk mengatasi perang tidak mungkin terjadi.
Ia menyebut tindakan Rusia "sangat kontras dengan upaya diplomatik yang serius untuk mengakhiri perang."
4. Deportasi Besar-besaran Warga Ukraina Mungkin Terjadi
Rusia diketahui telah memberitahu penduduk kota selatan Mariupol untuk segera pergi dari wilayahnya lantaran pihaknya akan melakukan pemboman udara yang menghancurkan kota itu. Selain meminta para warga Mariupol pergi, mereka juga membuka apa yang mereka sebut "koridor kemanusiaan" untuk memungkinkan warga sipil melarikan diri.
Puluhan ribu warga sipil pun memutuskan untuk melarikan diri ke Rusia. Organisasi media pemerintah Rusia RIA Novosti mengatakan bahwa hampir 60.000 penduduk Mariupol telah mencapai wilayah Rusia "dengan selamat sepenuhnya."
Meski begitu, dewan Mariupol menuduh Rusia memaksa warganya untuk pergi ke negara mereka di luar keinginan masyarakat.
"Selama seminggu terakhir, beberapa ribu penduduk Mariupol telah dibawa ke wilayah Rusia," tulis pernyataan dewan tersebut.
Walikota Mariupol Vadym Boichenko mengatakan bahwa "apa yang dilakukan penjajah hari ini akrab bagi generasi tua, yang melihat peristiwa mengerikan Perang Dunia II, ketika Nazi menangkap orang secara paksa."
Giles mengatakan ada kekhawatiran akan terulangnya kembali sejarah kelam itu dalam beberapa minggu mendatang.
"Rusia memiliki sejarah pembalasan yang kejam dan biadab terhadap warga sipil di area mana pun ketika segala gerakan perlawanan terjadi. Mereka juga sudah tergerak untuk mendeportasi orang dari Mariupol ke bagian terpencil Rusia," ujarnya.
5. Jutaan Warga Melarikan Diri Meninggalkan Negaranya yang hancur
Lebih dari 3,5 juta warga Ukraina telah meninggalkan negara itu sejak invasi Rusia berlangsung. Sebagian besar warga yang melarikan diri merupakan wanita dan anak-anak.
Perang antara Rusia dan Ukraina diketahui telah memicu pergerakan pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Jumlah itu meningkat dengan kecepatan sekitar 100.000 orang per hari.
Bila ditambah dengan jumlah orang yang terlantar, tercatat ada sebanyak 10 juta orang Ukraina yang telah meninggalkan rumah mereka. Angka itu hampir seperempat dari populasi negara itu.
Dan jika berkaca pada perang di masa lalu, para pengungsi seringkali tak pernah kembali ke negara asalnya. Kalaupun ada, hanya sedikit yang kembali ke negaranya.
Hal itu yang disebut Cranny perlu dipikirkan oleh para negosiator dalam setiap pembicaraan. Menurutnya, bahkan jika solusi diplomatik ditemukan untuk mengakhiri perang, pertanyaan yang akan tetap ada yaitu apakah hal itu juga dapat mencegah perang berikutnya.
"Jika kita melihat, secara historis, pada rezim otoriter yang berkinerja buruk di lingkungan militer, mereka cenderung tidak mengubah perilaku mereka ke arah yang positif setelahnya. Jadi pertanyaannya mungkin jika orang Ukraina berkata, 'Oke, kita akan melakukannya. netral, keluar saja,' Rusia mungkin berkata 'Tidak, Anda harus memberi kami Donetsk dan Luhansk. Itu mungkin dapat ditanggung oleh Ukraina, mungkin, untuk menghentikan perang," katanya.