Laporan HAM AS Soroti Kelakuan Lili Pintauli Hingga Masalah TWK KPK
Amerika Serikat (AS) menyoroti keputusan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Lili Pintauli hingga masalah tes wawasan kebangsaan (TWK) yang mengeliminasi 75 pegawai, termasuk Novel Baswedan.
Itu terdapat dalam laporan praktik HAM di Indonesia 2021 yang dikutip dari situs Kedubes AS di Indonesia yang diakses Jumat (15/4).
Dalam laporan itu ditulis perihal dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di KPK.
Menurut laporan tersebut, sejumlah LSM beranggapan korupsi adalah salah satu penyebab pelanggaran hak asasi manusia, dengan kepentingan uang menggunakan pejabat pemerintah yang korup untuk melecehkan dan mengintimidasi aktivis dan kelompok yang menghambat bisnis mereka.
Dalam hal ini, pelanggaran HAM di sektor korupsi dimulai pada 5 Mei 2021.
Saat itu, KPK menggelar ujian kewarganegaraan bagi pegawai komisi tersebut. Ujian tersebut merupakan proses transisi yang diamanatkan hukum untuk mengubah staf komisi menjadi pegawai negeri.
Kendati dari total pegawai KPK yang mengikuti tes tersebut 75 diantaranya dinyatakan gagal, termasuk Novel Baswedan.
Pada 15 Juli, Ombudsman nasional menyimpulkan tes tersebut tidak dilaksanakan dengan benar dan KPK tidak memiliki kedudukan hukum untuk memaksa karyawan mengikuti ujian tersebut.
Sejumlah LSM dan media melaporkan bahwa tes itu upaya untuk menyingkirkan penyidik tertentu, termasuk Novel Baswedan, penyidik terkemuka yang memimpin kasus yang berujung pada pemenjaraan Ketua DPR Setya Novanto.
Pelanggaran HAM tersebut kemudian berlanjut di mana dari 75 orang yang gagal dalam TWK, sebanyak 57 didepak KPK pada 30 September 2021.
AS juga menyorot peristiwa 30 Agustus 2021, di mana Wakil Ketua KPK dinyatakan bersalah secara etik oleh Dewan Pengawas KPK terkait kasus korupsi Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial.
"Dewan memutuskan Siregar memiliki kontak yang tidak pantas dengan subjek investigasi untuk keuntungan pribadinya sendiri dan memberlakukan pengurangan gaji satu tahun, 40 persen untuk Siregar atas pelanggaran tersebut," demikian dikutip dari laporan HAM AS tersebut.
Respons Mahfud MD
Menkopolhukam Mahfud MD menanggapi soal laporan HAM AS itu secara umum. Salah satunya adalah terkait jumlah antara RI dan AS.
"Kalau soal keluhan dari masyarakat kita punya catatan AS justeru lebih banyak dilaporkan Special Procedures Mandate Holders (SPMH). Pada sekitar kurun waktu 2018-2021 misalnya, Indonesia dilaporkan melanggar HAM 19 kali oleh beberapa elemen masyarakat sedangkan AS pada kurun waktu yang sama dilaporkan sebanyak 76 kali," kata dia.
Dia menuturkan laporan itu berguna sebagai bentuk penguatan peran masyarakat sipil.
Terkait dengan kasus di KPK, Dewas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menyebut Wakil Ketua Lili Pintauli Siregar telah mengakui perbuatannya yakni melanggar kode etik dan pedoman perilaku, tetapi ia tidak menyesal.
Perbuatan yang dimaksud yaitu menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang sedang mempunyai perkara di KPK yakni Wali Kota Tanjungbalai Nonaktif M. Syahrial.
Demikian termuat dalam surat putusan etik Lili yang dibacakan Dewas, Senin (30/8). Lili dihukum dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan.
"Keadaan meringankan yakni terperiksa [Lili] telah mengakui perbuatannya dan belum pernah dijatuhi sanksi etik. Sedangkan hal memberatkan terperiksa tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya,"ujar anggota Majelis Etik Dewas KPK, Albertina Ho, Senin (30/8).
"Terperiksa selaku pimpinan KPK seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam pelaksanaan IS [nilai-nilai dasar] KPK, namun terperiksa melakukan sebaliknya," lanjutnya.
Usai divonis bersalah, Lili menyatakan menerima putusan tersebut. "Saya menerima tanggapan Dewas, saya terima. Tidak ada upaya-upaya lain," kata Lili.
Kasus KKP dan Bansos
Selain masalah pemecatan 57 orang pegawai KPK termasuk Novel Baswedan, Laporan HAM AS juga menyoroti kasus-kasus korupsi di Indonesia seperti kasus Edhy Prabowo dan Juliari Batubara.
Sebagai informasi 6 Juli silam mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dinyatakan bersalah menerima suap dari pengusaha dan menyalahgunakan wewenangnya untuk mempercepat izin ekspor larva lobster.
Kendati, Mahkamah Agung memutuskan Edhy Prabowo hanya divonis lima tahun penjara, denda senilai Rp400 juta dan dilarang menduduki jabatan publik selama tiga tahun setelah masa hukumannya berakhir. KPK yang menangani kasus tersebut justru sepakat dengan korting hukuman yang diberikan oleh MA.
Selain Edhy Prabowo, kasus serupa juga dilakukan oleh Juliari Batubara mantan Menteri Sosial.
Juliari melakukan korupsi dana bantuan sosial dan dinyatakan bersalah menerima suap senilai Rp20,8 miliar terkait program bantuan pangan pemerintah untuk pandemi Covid-19.
Hukuman yang diterima Juliari dari pengadilan adalah vonis 12 tahun penjara dan ganti rugi senilai Rp14,6 miliar, denda Rp500 juta dan dilarang mencalonkan diri untuk jabatan publik selama 4 tahun setelah akhir masa hukuman.