Sejak 1990, separatis Uighur disebut melakukan tindakan teroris seperti rutin mengebom bus, melakukan serangan dengan pisau, di Xinjiang serta wilayah lain di China. Beijing sering menyamakan ideologi ekstrem itu dengan Islam pada umumnya
Kemudian pada 2013, setelah Xi Jinping menjadi Presiden China, pemerintah mulai menindak lebih agresif kelompok separatis termasuk Uighur dan minoritas Muslim lain di Negeri Tirai Bambu.
Xi menitikberatkan kampanye melawan separatis, dan tindakan dia terhadap etnis Uighur memuncak dalam beberapa tahun belakangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2018 lalu, Human Rights Watch merilis laporan yang berisi penahanan sewenang-wenang China terhadap satu juta etnis Uighur. Berdasarkan kesaksian warga, pemerintah Beijing, bahkan telah melakukan penahanan sejak 2014.
China juga disebut melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan menyiksa atau memperkosa etnis Uighur.
Namun, China membantah tuduhan itu. Mereka mengklaim penahanan itu sebagai bentuk pelatihan dan upaya mereduksi paham ekstremisme.
China yang seolah takut dengan paham ekstremisme dan mungkin sebagai upaya menjaga ketahanan negaranya, menerapkan pula sederet kebijakan brutal terhadap muslim Uighur.
Kebijakan itu di antaranya melarang berpuasa saat Ramadan bagi PNS, pengajar dan pelajar, serta para pensiunan, seperti dikutip dari NYMAG. Mereka juga melarang memberi nama anak dengan Muhammad.
Selain itu, China melarang etnis Uighur berhijab, berjanggut, masuk masjid bagi sejumlah muslim, memaksa mereka memakan daging babi, minum alkohol, memantau sepanjang waktu agar mereka tak salat dan menghancurkan 1.500 masjid.
Adapun aturan brutal lain yakni, menerapkan kerja paksa di Xinjiang, melarang berkomunikasi dengan keluarga, meminta negara lain mendeportasi anggota etnis Uighur yang kabur, dan mengatur kelahiran, memaksa aborsi, sterilisasi serta memangkas rata-rata kelahiran.