Jakarta, CNN Indonesia --
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 sore waktu Taiwan ketika ponsel saya bergetar.
"Mas, aku gak bisa hadir ke markas nanti malam, istriku lagi gak sehat," bunyi pesan yang muncul pada layar ponsel saya.
Pesan itu dari pak Fudoli. Lelaki yang akrab disapa Kang Doli itu merupakan imam tetap kami untuk salat tarawih selama bulan Ramadan tahun ini di Chiayi yang terletak sekitar 265 kilometer dari barat daya Taipei.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai imam badal (pengganti), pesan itu pun membuat saya bergegas siap-siap menuju Al-Markas untuk menggantikan beliau memimpin salat tarawih nanti malam.
Ini menjadi tahun kedua saya merantau ke Taiwan untuk melanjutkan sekolah di National Chung Cheng University (CCU). Tahun ini juga menjadi yang kedua kali bagi saya menghabiskan bulan Ramadan dan Idul Fitri jauh dari kampung halaman.
Rasanya campur aduk sekali karena semarak Ramadan di tanah rantau, terutama di luar negeri, memang tidak pernah sama seperti di negeri sendiri.
Tapi saya beruntung karena di kota tempat saya tinggal ini, warga Indonesia cukup banyak. Warga Indonesia Muslim di Chiayi juga memiliki komunitas Majelis Taklim sendiri yakni Majelis Taklim Yaasiin Indonesia-Taiwan (MTYCIT) dengan kantor sekretariat Al-Markas.
Rasanya senang sekali ketika menemukan komunitas Muslim Indonesia di Negeri Formosa ketika penduduknya bukan mayoritas beragama Islam. Kerinduan akan kampung halaman setidaknya jadi sedikit terbayar, terutama di bulan spesial seperti Ramadan ini.
Menempuh jarak 20 kilometer dengan sepeda dari kampus ke Al-Markas pun terbayar lunas dengan suasana buka bersama dan tarawih berjamaah. Ini sangat mengobati sedikit rindu akan Indonesia.
Selain saya, masih banyak Muslim Indonesia lainnya di sini yang rela pergi jauh-jauh ke Al-Markas untuk bersilaturahmi dan beribadah. Padahal, sebagian besar warga Indonesia di sini merupakan pekerja migran yang tak jarang sulit meluangkan waktu untuk kegiatan di luar pekerjaan.
Selain karena jam kerja yang padat, izin yang sulit dari majikan juga kerap menjadi tantangan bagi para pekerja migran Indonesia di sini untuk aktif berkegiatan dalam organisasi, termasuk di MTYCIT.
Sejak pandemi Covid-19 terjadi, sebagian besar majikan menjadi protektif hingga melarang pekerja migran Indonesia mengikuti perkumpulan sosial karena takut terinfeksi virus dan menularkannya saat pulang.
Namun, semua tantangan itu tak meluluhkan semangat jemaah MTYCIT, salah satunya Pak Budi. Pekerja di pabrik peleburan logal asal Kebumen itu telah 9 tahun bekerja di Taiwan. Ia kini malah aktif menjadi Ketua Majelis Taklim MTYCIT.
Salah satu alasannya ingin membesarkan MTYCIT adalah karena jumlah penduduk Muslim, terutama warga Indonesia, di Chiayi cukup banyak jika dibandingkan kota-kota lainnya di Taiwan.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
[Gambas:Video CNN]
Ada sekitar 50 keluarga lokal yang memeluk agama Islam dan ribuan Muslim Indonesia di Chiayi. Sementara itu, belum banyak tempat ibadah yang layak di kota tersebut.
Kendala lahan dan biaya memang sangat terasa, apalagi puluhan keluarga Muslim ini tersebar di berbagai distrik yang berlainan sehingga sedikit sekali masjid/musala dengan komunitasnya yang aktif.
Sejak berdiri pada 2009, komunitas MTYCIT menggelar kegiatan secara nomaden dari rumah ke rumah hingga toko ke toko milik orang Indonesia di sini. Kadang, kegiatan Majelis Taklim seperti rutinan Yasin dan Tahlil hingga Tabligh Akbar harus digelar menyesuaikan tempat dan kesediaan para tuan rumah.
Meski begitu, kami sudah beberapa kali mengundang sejumlah pendakwah tersohor dari Indonesia seperti KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym hingga Habib Jindan.
Siraman rohani secara luring lewat ceramah seperti itu pun menjadi yang paling dicari Muslim Indonesia di sini, terutama selama Ramadan dan setelah era pandemi Covid-19. Momen seperti itu bak menjadi waktu kami mengisi ulang "baterai" karena lelah bekerja atau hanya pengobat rindu kampung halaman.
Sebab, buka bersama, tawarih, pengajian hingga ceramah juga menjadi ajang silaturahmi antara sesama perantau hingga tak jarang memunculkan gelak tawa dan obrolan hangat di antara kami.
Bagi saya sendiri yang merupakan pelajar tahunan, momen Ramadan seperti ini menjadi berkah berlipat ganda. Selain mengobati rindu, momen buka bersama menjadi ajang perbaikan gizi dan peluang untuk bisa berhemat uang saku.
Namun, tak sedikit pula rintangan datang dari warga sekitar markas sekretariat atau rumah-rumah yang menjadi host kegiatan kami. Cukup sering warga sekitar mengeluh berisik saat kami menggelar kegiatan.
Maklum, sekretariat MTYCIT bukan lah bangunan permanen. Al-Markas menempati sebuah gudang di lantai 3 toko yang kami sewa milik warga Indonesia bernama Wiwi.
Toko Wiwi merupakan salah satu toko kelontong yang menjual makanan dan produk Indonesia tertua di Chiayi. Toko milik eks pekerja migran ini pun menjadi satu-satunya yang mengantongi sertifikat resmi Halal Chinese Muslim Association (CMA).
Toko yang buka sejak awal 2000 itu juga kerap menjadi tuan rumah kegiatan keagamaan baik bagi warga Muslim Indonesia maupun non-Indonesia.
 Foto: Nour Muhammad Adriani Toko Tiwi, salah satu toko kelontong yang menjual barang dan produk Indonesia di Chiayi, Taiwan |
Toko Kelontong si Pengobat Rindu
Selain MTYCIT, salah satu pengobat rindu saya akan kampung halaman adalah beberapa toko kelontong Indonesia yang hadir di Chiayi.
Selain Toko Wiwi, ada Toko Tanah Emas yang terletak tidak jauh dari Stasiun Besar. Toko ini menyediakan berbagai makanan khas berbuka seperti es kolang-kaling, bubur kacang hijau, hingga kolak. Lauk pauk khas Indonesia hingga bakso pun tersedia di toko ini.
Selain di Chiayi, toko Indonesia juga hadir di Putzi, sebuah kota kecil sekitar 35 kilometer dari Chiayi, yakni Toko Indo Coco Counter.