Indonesia tengah dihebohkan isu reshuffle kabinet. Selain Indonesia, Sri Lanka juga sedang kerap merombak kabinet karena krisis ekonomi akut belakangan ini.
Sri Lanka tercekik krisis ekonomi akibat pinjaman melambung dan pemerintah gagal mengelola finansial negara. Krisis semakin parah saat pandemi Covid-19 menerjang.
Seiring waktu, kondisi Sri Lanka kian terpuruk karena krisis valuta asing. Harga makanan melonjak, pemadaman listrik terus terjadi, sementara obat-obatan dan bahan bakar serba langka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi semacam itu membuat warga menggelar demonstrasi selama berminggu-minggu. Mereka menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri.
Kabinet Gotabaya pun terguncang. Mulanya, hanya belasan menteri mengundurkan diri. Gotabaya kemudian menunjuk kabinet baru.
Sekitar sepekan menjabat, tercatat 26 menteri Sri Lanka yang baru ditunjuk itu mengundurkan diri dari jabatannya.
Gotabaya lalu mengundang semua partai politik di parlemen agar mau menerima jabatan kabinet dan bersama-sama mencari solusi untuk menangani krisis nasional.
Namun, pengamat politik, Viktor Ivan, menganggap rakyat tak akan menerima perombakan semacam ini. Menurutnya, warga hanya ingin Mahinda lengser dari jabatannya.
"Yang dibutuhkan adalah program reformasi yang serius. Tidak hanya untuk menghidupkan kembali ekonomi, tetapi juga mengatasi masalah pemerintahan," kata Ivan, seperti dikutip AFP pada April lalu.
Di bulan selanjutnya, yakni pada Mei, Mahinda akhirnya mengundurkan diri usai desakan publik dan guncangan politik di Sri Lanka.
Begitu parah, krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka pun menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pekan lalu, PBB memperingatkan Sri Lanka akan menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan, juga kelaparan.
Menurut PBB, empat dari lima orang di negara berpenduduk 22 juta itu terpaksa tak makan.
"Kami khawatir ini bisa berkembang menjadi darurat kemanusiaan besar-besaran, dan kami mengambil tindakan guna mengatasi kekhawatiran itu," kata juru bicara badan kemanusiaan PBB (OCHA), Jens Laerke.