Salah satu warga negara Indonesia yang pernah tinggal di Sri Lanka, Tony Wahyudi, menceritakan susahnya hidup di negara yang kini berada di ambang kebangkrutan.
Sri Lanka diklaim bangkrut karena gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun.Kondisi ekonomi Sri Lanka semakin memburuk setelah pemerintah dicap gagal mengelola keuangan hingga korupsi yang diperburuk oleh pandemi Covid-19.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demonstrasi menuntut pemerintah diganti pun terus terjadi selama beberapa bulan. Kabinet pemerintahan terus berganti hampir setiap bulan gegara banyak menteri dan pejabat yang mengundurkan diri hingga dipecat.
Pemerintah saat ini bahkan memutuskan menutup sekolah dan menghentikan layanan pemerintahan demi menghemat cadangan bahan bakar yang hampir habis.
Negara berpenduduk 22 juta orang itu mengalami krisis ekonomi terburuk setelah kehabisan devisa untuk membiayai impor sejumlah komoditas termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Kepada CNNIndonesia.com, Tony menceritakan pengalamannya pernah antre beli bahan bakar minyak (BBM) hingga 7 jam. Ia baru sepekan pulang ke Indonesia setelah lima tahun tinggal di Kolombo dan bekerja sebagai pelatih badminton tim nasional Sri Lanka.
"Saat itu, saya setiap hari berjuang 5 sampai 7 jam [antre BBM], terus juga kadang kita was-was sama gas, kalau habis bisa dapat atau enggak," ujar Tony saat dihubungi pada Selasa (21/6).
Tony bercerita setiap pekan harga BBM melonjak. Terakhir saat ia membeli BBM harga per liter 384-482 rupee Sri Lanka (LKR) atau sekitar Rp14 ribu hingga Rp19 ribu per liter. Padahal sebelum krisis melanda, harga perliter sekitar Rp4.900.
Selain harga BBM, harga barang pokok seperti beras dan daging ayam juga merangkak naik.
"Terakhir saya beli beras lokal di sana satu kilo sudah LKR500 [sekitar Rp20 ribu], yang tadinya LKR350 [sekitar Rp14 ribu]," jelas Tony.
Adapun untuk daging ayam yang mulanya dibanderol LKR700 atau sekitar Rp28.795 sekarang menjadi 1.100 LKR atau sekitar Rp45.249.
Mengingat situasi yang semakin akut di Sri Lanka, Tony dan keluarga memutuskan pulang ke Tanah Air.
Saat perjalanan pulang, Tony bercerita jalanan tampak lengang. Sejauh mata memandang yang tampak hanya antrean orang di pom bensin yang sudah mengular panjang berjam-jam.
Sebelum pulang, Tony mengungkapkan ia dan sejumlah perwakilan masyarakat lain sempat bertemu dengan pihak Kedutaan Besar RI di Kolombo membahas krisis yang melanda.
Tony mengatakan hingga kini KBRI belum di Sri Lanka belum mengeluarkan imbauan agar seluruh WNI di negara Asia Selatan itu pulang.
"Jadi KBRI belum ada imbauan untuk pemulangan karena KBRI masih melihat kalau [situasi] belum parah," ujar Tony.
Sejauh ini, Tony bercerita belum ada bantuan dari KBRI bagi para WNI di Sri Lanka padahal beras cukup sulit didapatkan. Mereka, kata Tony, menjanjikan akan memberi beras jika warga RI tak mendapat makanan pokok itu.
CNNIndonesia.com sudah menguhubungi staf KBRI Kolombo dan Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri RI, Juhda Nugraha, untuk menanyakan apakah ada imbauan terkait pemulangan WNI menyusul kondisi yang semakin parah di Sri Lanka. Namun keduanya belum merespons hingga berita ini dirilis.