Jakarta, CNN Indonesia --
Korea Utara menuduh Amerika Serikat berupaya membangun semacam aliansi militer seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) versi Asia.
Tuduhan tersebut disampaikan Kementerian Luar Negeri Korut kala merespons latihan militer yang dilakukan AS dengan Jepang dan Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kala melangsungkan latihan militer gabungan dengan Jepang dan Korsel, AS mencoba membentuk NATO versi Asia," demikian pernyataan badan tersebut pada Minggu (26/6).
Tak hanya Korut, China juga sempat melayangkan tuduhan pembuatan aliansi militer itu pada April lalu.
Juru bicara Menteri Luar Negeri China, Zhao Lijian, menuduh AS, Inggris, dan Australia membentuk kesepakatan AUKUS sebagai bagian dari upaya membentuk "NATO versi Asia-Pasifik," dikutip dari CGTN.
[Gambas:Video CNN]
AUKUS sendiri merupakan kesepakatan pertahanan antara ketiga negara itu untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir, seperti dikutip The Guardian.
Lantas, apakah NATO versi Asia tersebut bisa benar-benar terjadi?
Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, aliansi tersebut sulit terbentuk.
"Aliansi NATO [ini] tampaknya sulit terjadi karena posisi ASEAN yang sebagian besar menolak pendekatan militer," kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).
Yon sendiri mengungkapkan bahwa Amerika Serikat memang mencoba memperkuat pengaruh mereka di Asia, termasuk ke Indonesia.
"Dari dulu AS ingin mengokohkan pengaruhnya di Asia, termasuk juga membangun pangkalan militer. Indonesia juga termasuk yang didekati tetapi tidak mengizinkan. Indonesia seharusnya menolak karena tidak sesuai dengan politik bebas aktif," kata Yon.
Pendapat yang senada diungkapkan oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman.
"Tidak akan terjadi karena ASEAN ada untuk kawasan Asia Pasifik dan kita sudah menyatakan ASEAN Centrality dalam gagasan Indo-Pasifik," ujar Suzie ketika diwawancara CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).
Suzie juga menjelaskan bahwa ASEAN sendiri menyepakati daerah mereka sebagai zona bebas nuklir pada 1995.
"Dan pendekatan ASEAN adalah non-interference Zona Bebas Nuklir," kata Suzie.
ASEAN sendiri menandatangani kesepakatan wilayah bebas nuklir pada 15 Desember 1995.
"Pada 15 Desember 1995, negara anggota ASEAN menandatangani Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Traktat SEANWFZ) sebagai komitmen untuk menjaga wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah bebas nuklir dan senjata penghancur massal lain," demikian pernyataan ASEAN dalam situs resminya.
Menurut Suzie, pembentukan aliansi tersebut dapat memicu pertikaian. Ia juga menilai bangsa ASEAN memiliki cara sendiri untuk mengatasi masalah di kawasan.
Jika melihat dari kacamata Asia-Pasifik, Suzie menilai masyarakat di wilayah tersebut mungkin bakal tidak mendukung kemunculan aliansi itu. Salah satu alasannya karena publik di wilayah itu tak bersedia ikut melawan China.
"Kalau mau dukungan publik kan harus absah oleh penduduk sekitar Indo-Pasifik. Apalagi melawan China, sulit membayangkan rakyat ASEAN rela dikorbankan untuk berperang dengan China," kata Suzie.
Walaupun demikian, Yon menilai aliansi tersebut bisa terbentuk, bila melihat dari sisi Asia-Pasifik.
"Di situ ada Australia sebagai sekutu utama AS. Bisa saja aliansi itu terwujud guna membendung ancaman China," tutur Yon.
Sementara itu, negara Barat, termasuk AS, tengah berupaya mendekatkan diri ke negara ASEAN. Pendekatan tersebut dilakukan untuk menangkal pengaruh China di Indo-Pasifik.