Dari sisi netralitas, Indonesia memang memiliki posisi yang baik, tapi dari segi daya tawar menjadi mediator, RI dinilai masih kurang.
"Untuk menjadi daya tawar mediator, untuk menghapus status quo, perubahan sikap, itu perlu memerlukan daya tawar dalam artian hubungan yang kuat," kata Waffa.
Indonesia bukan negara yang memiliki hubungan kuat dengan Rusia maupun Ukraina. Jakarta, lanjutnya, hanya memiliki modal rekam jejak diplomasi dalam upaya damai di kancah internasional, setidaknya di kawasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedua negara tak akan memiliki kepercayaan terhadap Indonesia juga karena kita tidak memiliki kepentingan yang tersembunyi. Kepentingan yang kita jaga baik, tapi tidak terlalu kuat," katanya.
Indonesia memang pernah menjadi fasilitator dalam penyelesaian konflik pada 1991-1996 lalu, saat Kamboja dan Filipina berseteru atas Kuil Preah Vihear.
Pada 2019, Indonesia berkunjung ke Afghanistan sebagai bentuk dukungan upaya pembangunan perdamaian pascakonflik.
Di 2021, Indonesia juga menjadi inisiator menggelar pertemuan khusus ASEAN guna membahas konflik di Myanmar.
Kiprah Indonesia yang demikian dianggap bisa menjadi modal untuk mendapatkan kepercayaan dari Rusia dan Ukraina. Namun, Waffa menganggap kepercayaan tak cukup mendorong perdamaian.
"Negosiasi perdamaian sudah berlangsung ya, dan ada sticking point [poin penting] yang tidak bisa dijawab Indonesia," katanya.
Ia mengambil contoh keinginan Ukraina soal jaminan keamanan. Di putaran negosiasi sebelumnya, Kyiv meminta jaminan keamanan ke enam negara, yakni, Jerman, Turki, Kanada, Polandia, dan Israel.
Rusia, di sisi lain, menginginkan Ukraina dan dunia mengakui bahwa Crimea menjadi bagian dari kedaulatannya.
"Jaminan keamanan Ukraina, Rusia minta pengakuan Crimea, itu kan bukan di tangan Indonesia untuk membawa perdamaian, tapi dialog terbuka harus tetap dijalankan," ujar Waffa.
Meski begitu, bagi Andrew Indonesia masih memiliki daya tawar dari sisi kepercayaan, dengan kebijakan luar negeri yang dinamakan politik bebas aktif.
Misalnya, saat negara Barat ramai-ramai menjatuhkan sanksi ke Rusia, Indonesia tak ikut-ikutan. RI malah memutuskan mengundang Moskow dalam agenda G20, yang merupakan anggota forum ini.
"Itu membuat netralitas Indonesia tetap terjaga," ujar dia.
Di samping pasokan pangan dan diplomasi misi damai RI, kunjungan Jokowi juga memang untuk memastikan kehadiran seluruh anggota di G20.
"[Ini] paling mungkin," katanya saat ditanya dampak kunjungan RI secara umum.
Namun, Waffa menilai, jika situasi memburuk, Ukraina akan batal datang, Rusia tak hadir, dan Barat juga tak muncul. Dampaknya, akan semakin sulit membangun penyelesaian isu global seperti perubahan iklim.
"Kalau berhasil, Indonesia akan dapat prestise, pamor, yang artinya juga citra baik dan investasi masuk tentunya. Plus juga agenda global di forum seperti di G20 akan lebih selamat," kata dia.
Secara tak langsung, ini bisa jadi momentum karena Indonesia punya kepentingan dan dianggap mampu menyuarakan isu-isu penting.
"Kalau kita yang netral dan pesan yang dibawa baik, perdamaian dan kepentingan bersama, tidak mencoba, ya yang mencoba hanya akan negara itu-itu saja," kata Waffa.
(has/asa)