Jakarta, CNN Indonesia --
Hubungan Israel dengan Iran menjadi sorotan saat Teheran mengaku siaga usai pasukan Tel Aviv menggempur jalur Gaza, Palestina sejak pekan lalu.
Kedua negara ini kerap terlibat sejumlah perselisihan dan disebut musuh bebuyutan. Mulai dari ribut-ribut soal pengadaan nuklir hingga saling komentar siap serang.
Ketegangan semakin meningkat usai Iran mengancam akan menghapus Israel dari peta sebagai buntut serangan Tel Aviv ke Jalur Gaza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anak-anak Hizbullah sedang membuat rencana meluncurkan pukulan terakhir terhadap rezim Zionis [Israel]," kata Komandan Pasukan Al Quds Iran, Esmail Ghaani pada pekan lalu.
Ia kemudian berujar, " [Rencana ini] untuk merealisasikan keinginan Imam Khamenei, yakni benar-benar ingin menghapus Israel dari peta dan muka Bumi."
Ghaani juga menegaskan pihaknya tak akan berhenti berjuang melawan musuh.
Israel, sementara itu, membela tindakannya sebagai balasan atas serangan milisi Jihadi Islam, yang disokong Iran.
Menanggapi permusuhan ini, mengapa Iran tampak membenci Israel?
'Kebencian' itu tak muncul begitu saja. Permusuhan keduanya bermula saat pemimpin Iran, Mohammad Reza Pahlevi digulingkan pada 1974.
Warga Iran, terutama pemimpin ulama Islam Syiah, Ayatollah Khomeini merasa tak puas dengan kebijakan sosial ekonomi yang diterapkan Reza. Mulai dari dekat dengan AS-Israel dan bergantung pada pendapatan minyak.
Ia lalu menyerukan penggulingan terhadap Reza dan menginginkan Iran kembali ke tradisi Islam atau yang disebut Revolusi Islam Iran.
[Gambas:Video CNN]
Di era rezim baru, Iran menyebut AS sebagai Setan Besar, dan menyebut Israel sebagai Setan Kecil. Mereka meninggalkan hubungan dengan Tel Aviv dan mendukung perjuangan Palestina.
Dukungan itu sebagai upaya memperluas pengaruh revolusi Islam di dunia Muslim dan melegitimasi kekuasaan ulama. Khomeini di suatu waktu bahkan pernah menegaskan Israel adalah negara yang ingin ia hilangkan.
Sebetulnya hubungan Israel-Iran sempat harmonis. Mereka bersama Amerika Serikat menentang upaya Uni Soviet mendapat pengaruh di kawasan Timur Tengah.
Israel bahkan sempat memiliki misi diplomatik di Teheran antara 1948 hingga 1978. Iran juga menjadi negara kedua yang mengakui Israel pada 1950, setahun usai Turki.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Ketegangan kedua negara semakin meningkat usai Israel menginvasi Libanon pada 1982. Ketika itu, Operasi Perdamaian untuk Galilea berusaha memaksa sekutu Iran, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) keluar dari Libanon.
Teheran kemudian mengirim sekitar 1.500 penasihat Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) ke Lembah Bekaa Libanon. Mereka melatih, memobilisasi, dan milisi bahwa tanah yang berkembang menjadi Hizbullah.
Hizbullah lalu menjadi simbol strategi besar Iran menciptakan proksi di seluruh Timur Tengah. Usai PLO ditarik dari Beirut, Hizbullah pelan-pelan menggantikan peran mereka melawan Israel.
Selama empat dekade, Iran menghindari perang besar-besaran dengan Israel atas Palestina. Namun, ia berulang kali memperingatkan konsekuensi serius jika pasukan Tel Aviv menyerang Iran.
Pada pertengahan 1980-an, saat perang Iran-Irak berkecamuk, sebuah skandal meletus di AS.
Pemerintahan Washington diam-diam mengizinkan penjualan senjata ke Iran, melalui Israel, untuk membantu mendanai milisi Contras di Nikaragua. Bersamaan dengan itu, mereka merundingkan pembebasan beberapa sandera AS yang ditahan di Lebanon oleh milisi pro Iran.
Saat itu, Israel memandang rezim Saddam Hussein di Irak sebagai ancaman. Lalu pada 1981, pesawat tempur Israel mengebom reaktor nuklir Osirak Irak, yang sedang dibangun dan berjarak sekitar 17 kilometer tenggara Baghdad.
Pada 1989, media AS mengungkapkan Israel telah membeli minyak Iran senilai US$36 juta dalam kesepakatan demi membebaskan tiga tentara Israel yang ditahan di Lebanon.
Pada medio 1990-an, Israel khawatir soal program pengayaan nuklir Iran. Tel Aviv memang memiliki senjata khusus nuklir, tetapi negara ini bukan anggota yang menandatangani Perjanjian Nonproliferasi (NPT) pada 1968, sebagaimana Iran.
Israel hingga kini terus mencurigai Iran berusaha membangun senjata nuklir. Namun, Teheran berulang kali mengklaim hak mereka untuk energi nuklir untuk tujuan sipil.
[Gambas:Video CNN]
Pada 1994, ketegangan meningkat ketika Israel menuduh Hizbullah, yang disokong Iran, bertanggung jawab atas pemboman di ibukota Argentina, Buenos Aires, yang menewaskan 85 orang.
Hubungan kedua negara semakin buruk, usai Mahmoud Ahmadinejad menjadi presiden Iran pada awal 2000-an.
Ahmadinejad kerap mengecam Israel dengan menyebut negara ini pantas menghilang. Kutukan ini sejalan dengan peningkatan program nuklir Iran.
Pada 2009, Teheran mengkritik dinas rahasia Israel dan AS karena mengganggu program nuklir mereka dengan bantuan perangkat lunak berbahaya yang disebut Stuxnet. Mereka juga menuduh Israel membunuh beberapa fisikawan dan insinyur khusus di ibukota Iran.
Pada beberapa kesempatan, eks Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyarankan Israel bisa menyerang Iran jika komunitas internasional tidak bertanggung jawab.
Sementara itu, Iran menjawab bahwa mereka tidak akan ragu untuk menanggapi setiap serangan Israel.
[Gambas:Photo CNN]