Selama enam bulan diinvasi, Ukraina berjuang habis-habisan untuk menghentikan gempuran Rusia. Di awal invasi, Rusia berencana menguasai langsung Ibu Kota Kyiv. Namun, Rusia tak menyangka perlawanan tentara Ukraina sengit hingga akhirnya membuat Moskow menyerah dan mengubah fokus arah invasi.
Sejak itu, Rusia berfokus menguasai wilayah timur Ukraina yang banyak didominasi kelompok separatis pro-Moskow, seperti dikutip The Washington Post.
Hingga hari ini, perang terus berkecamuk dan rudal nyaris setiap hari meledak di wilayah timur Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Volodymyr Zelensky, berupaya mempertahankan semangat perjuangan penduduk dan pasukannya menjelang enam bulan invasi Rusia berlangsung.
"Ukraina telah membuktikan bahwa orang-orang kami tak terkalahkan, para pembela kami tak terkalahkan," kata Zelensky pekan lalu dikutip Voice of America.
Ia kemudian berkata, "Kita masih perlu berjuang, kita masih perlu melakukan banyak hal, kita masih perlu bertahan, dan bertahan."
Meski banyak rasa sakit, lanjut Zelensky, tapi Ukraina bangga negara dan pasukan mereka.
Orang nomor satu di Ukraina itu lalu memperingatkan Rusia bisa saja melakukan sesuatu yang kejam di pekan ini.
"Begitulah musuh kita. Tetapi di minggu lain selama enam bulan ini, Rusia melakukan hal yang sama sepanjang waktu, menjijikan dan kejam," imbuh dia.
Zelensky juga tak patah arang mendesak Barat untuk memasok senjata.
"Semua yang kami butuhkan adalah senjata, dan jika Anda punya kesempatan, paksa [Putin] duduk di meja perundingan dengan saya," kata dia kepada Washington Post baru-baru ini.
Peralatan militer itu nantinya akan banyak berdampak bagi Ukraina di medan perang.
Sejauh ini, pemerintahan Joe Biden telah memberikan bantuan keamanan senilai lebih dari US$10 miliar atau sekitar Rp148 triliun ke Ukraina.
Washington juga memobilisasi dukungan yang lebih luas ke NATO dan mitra mereka di Eropa, alih-alih mendesak perundingan damai.
Dari AS hingga Polandia meyakini bahwa Ukraina harus dipasok peralatan militer untuk menang melawan Rusia.
Turki, salah satu anggota NATO, sempat menginisiasi menjadi mediator Rusia-Ukraina untuk berdamai. Negara ini bahkan menjadi tuan rumah negosiasi damai kedua negara pada April lalu. Namun, Ankara juga pernah memasok senjata ke Kyiv, sehingga netralitas menjadi juru damai dipertanyakan.
Dorongan damai kemudian muncul dari ketua G20 tahun ini, Indonesia. Presiden Joko Widodo, mengatakan RI siap menjadi juru damai kedua negara.
Ia juga berharap rivalitas yang terjadi di Eropa timur itu tak mempengaruhi kehadiran para pemimpin negara dalam konferensi puncak G20 di Bali pada November mendatang.
"Yang kita inginkan adalah kawasan ini stabil, damai, sehingga kita bisa membangun pertumbuhan ekonomi. Dan menurut saya bukan hanya Indonesia, negara Asia juga menginginkan hal yang sama," kata Jokowi kepada Bloomberg.
Stabilitas, bagaimanapun, bakal sulit ditempuh. Perang di Ukraina berlarut-larut dan banyak pihak yang khawatir konflik itu meluas. Misalnya serangan di wilayah sipil, pembunuhan, sabotase lintas batas dan ancaman nuklir.
AS baru-baru ini meyakini Rusia mempersiapkan serangan terbaru ke sejumlah infrastruktur sipil dan fasilitas pemerintah Ukraina dalam waktu dekat. Prediksi ini semakin memperpanjang 'napas perang' di negara yang kaya gandum itu.
Para pengamat bahkan menilai perang tersebut akan tetap berlangsung hingga Rusia berhasil menguasai seluruh wilayah Ukraina. Atau jika tidak, Moskow membentuk pemerintahan boneka di negara tetangganya itu.
(isa/rds)