Jakarta, CNN Indonesia --
Enam bulan sudah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina dan memorak-porandakan negara itu. Namun, belum ada tanda-tanda Presiden Vladimir Putin bakal menghentikan serangan.
Alih-alih berhenti, Rusia malah memperkuat serangannya belakangan ini, termasuk saat Ukraina merayakan peringatan hari kemerdekaan pada Rabu (24/8).
Di hari itu, Rusia meluncurkan serangan rudal dan membunuh 22 warga di negara itu. Tak hanya itu, Rusia juga menyerang stasiun kereta api di Ukraina dan menewaskan 25 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah Putin bakal menghentikan perang dalam waktu dekat?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, menilai Rusia dan Ukraina tak bakal mengakhiri perang dalam waktu dekat.
"Tidak bisa karena pride. [Putin] tidak bisa mundur karena terperangkap retorikanya sendiri. Pride pada akhirnya membuat [Putin] tak bisa memutuskan yang terbaik," ujar Suzie kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/8).
Lebih jauh, Suzie menyampaikan bahwa sulit bagi negara yang terlibat peperangan untuk mundur.
Pendapat yang mirip juga disampaikan pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi.
[Gambas:Video CNN]
Yon mengatakan dalam mengakhiri perang, dibutuhkan negosiasi antara Amerika Serikat dan Rusia. Menurutnya, Rusia tidak akan berhenti sebelum AS Cs menyetop sanksi.
"Kondisi ekonomi Rusia masih relatif stabil dan justru ekonomi dunia yang mengalami pelemahan," ujar Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com.
"Makanya Rusia tidak akan menyudahi intervensi di Ukraina, kecuali kalau peperangan ini dapat menjatuhkan ekonomi Rusia, maka dipastikan perang akan mereda."
Mungkinkah konflik ini berakhir di meja negosiasi? Baca di halaman selanjutnya >>>
Kemungkinan perang Rusia-Ukraina selesai di meja negosiasi
Mantan letnan-jenderal NATO dari Yunani, Konstantinos Loukopoulos, menilai negosiasi bakal menjadi salah satu jalan untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
"Perang bakal berakhir jika salah satu pihak berhasil menekankan kehendaknya ke pihak lain di lapangan, pun di meja negosiasi, atau saat kedua pihak ingin berkompromi ketimbang bertarung," kata Loukopoulos, dikutip dari Al Jazeera.
Meski begitu, Loukopoulus meyakini perang antara Rusia dan Ukraina tak akan segera berakhir. Ini tampak dari kemungkinan negosiasi antara Rusia-Ukraina yang "tak seindah harapan."
Salah satu pengamat di Institut Brookings, Steven Pifer, mengatakan negosiasi kemungkinan merugikan Ukraina.
Pifer menyampaikan jika pihak Ukraina memutuskan untuk bernegosiasi, Rusia kemungkinan bakal meminta sesuatu.
"Itu bakal menyakitkan bagi Ukraina dan tentu saja bakal mendapatkan penolakan keras dari publik," tulis Pifer di situs Brookings.
Selain itu, Pifer menganggap Ukraina akan dalam bahaya jika menyepakati gencatan senjata dengan Rusia.
Pasukan Rusia, kata Pifer, bisa saja tetap mengokupasi wilayah timur dan selatan Ukraina tanpa jaminan mereka bakal pergi.
Menurut Pifer, Ukraina sudah belajar dari pengalaman pahit di masa lampau. Rusia dan Ukraina sempat menyepakati gencatan senjata pada September 2014 dan Februari 2015 untuk mengakhiri perang di Donbas.
Namun, kesepakatan ini malah membuat pasukan Rusia tetap 'bersarang' di wilayah itu. Baku tembak pun tak pernah benar-benar berhenti.
"Kemungkinan lainnya, militer Rusia mungkin bakal menggunakan gencatan senjata untuk mengumpulkan pasukan, memasok senjata, dan meluncurkan serangan baru di Ukraina," tulisnya.