Jakarta, CNN Indonesia --
Perdana Menteri Israel Yair Lapid baru-baru ini menyuarakan dukungannya atas solusi dua negara. Solusi tersebut membuat Israel dan Palestina masing-masing berdiri sebagai negara berdaulat dan merdeka yang hidup beriringan.
"Sebuah kesepakatan dengan Palestina, berdasarkan solusi dua negara untuk dua bangsa adalah hal yang tepat untuk keamanan Israel, untuk ekonomi Israel dan untuk masa depan anak-anak kita," kata Lapid dalam pidatonya di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-77 di New York, Kamis (22/9).
Ia kemudian berkata," Terlepas dari semua hambatan, sampai hari ini sebagian besar warga Israel mendukung visi solusi dua negara ini. Saya salah satunya."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini merupakan satu langkah maju dari pihak Israel karena bersedia merangkul solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik mereka dengan Palestina, mengingat keduanya kerap bertempur akibat masalah tersebut.
Konflik Israel-Palestina muncul sejak akhir abad ke-19. Pada 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181 yang juga dikenal sebagai Rencana Pembagian untuk Palestina. Rencana ini memisahkan Mandat Inggris di Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi.
Pada Mei 1948, negara Israel dan memercikan perang Arab-Israel, dikutip dari CFR. Perang kala itu berakhir pada 1949, dengan Israel sebagai pemenangnya.
Akibat perang ini, sebanyak 750 ribu warga Palestina harus mengungsi dan membagi zona konflik menjadi tiga wilayah, yakni Negara Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
[Gambas:Video CNN]
Pada 1987, ratusan ribu warga Palestina yang hidup di Tepi Barat dan Jalur Gaza melangsungkan perlawanan ke pemerintah Israel. Perlawanan dikenal sebagai intifada pertama.
Konflik itu kemudian ditengahi dengan Perjanjian Oslo I pada 1993. Dalam perjanjian itu, pihak terkait membentuk kerangka kerja untuk warga Palestina agar dapat mengatur diri mereka sendiri di Tepi Barat dan Gaza.
Pada 1995, Perjanjian Oslo II disepakati. Dalam perjanjian ini, Israel diharuskan pergi dari enam kota dan 450 desa di Tepi Barat.
Namun, warga Palestina pada 2000 meluncurkan pemberontakan lagi, yang dikenal sebagai intifada kedua. Pemberontakan ini terjadi akibat Israel terus menduduki Tepi Barat, proses perdamaian stagnan, dan kunjungan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsa.
Intifada kedua berlangsung hingga 2005.
Lanjut ke sebelah...
Merespons serangan tersebut, pemerintah Israel lalu mengizinkan pembangunan tembok pembatas di sekeliling Tepi Barat pada 2002, meski menuai pertentangan dari Pengadilan Internasional dan Pengadilan Kejahatan Internasional.
Pada 2013, Amerika Serikat berupaya melanjutkan proses perdamaian antara pemerintah Israel dan Pihak Berwenang Palestina di Tepi Barat.
Namun, upaya tersebut terhambat usai partai berkuasa Palestina, Fatah, membangun pemerintahan yang bersatu dengan faksi oposisi yakni Hamas pada 2014.
Hamas merupakan cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir yang dibentuk pada 1987. Hamas merupakan salah satu partai politik terbesar di Palestina, tetapi dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS pada 1997.
Pada musim panas 2014, bentrok antara militer Israel dan Hamas berlangsung. Hamas mengirim hampir 3.000 roket ke Israel, dan dibalas Israel dengan serangan ofensif di Gaza.
Bentrok ini berakhir pada akhir Agustus 2014 lewat kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir. Namun, sebanyak 73 warga Israel dan 2.251 warga Palestina terbunuh dari konflik tersebut.
Meski begitu, gelombang kekerasan terus terjadi dalam kubu Israel dan Palestina. Ini membuat Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan negaranya tak lagi mengikuti pembagian wilayah sesuai Kesepakatan Oslo pada 2015.
Pada Maret dan Mei 2018, warga Palestina di Tepi Gaza melakukan demonstrasi mingguan. Protes terakhir mereka kala itu terjadi bersamaan dengan perayaan 70 tahun Nakba, sebutan bagi exodus warga Palestina usai Israel merdeka.
Berdasarkan keterangan PBB, sebanyak 183 pedemo terbunuh dan lebih dari 6.000 orang terluka akibat terkena amunisi langsung.
[Gambas:Video CNN]
Selain itu, pertempuran juga terjadi antara kelompok Hamas dan militer Israel pada Mei 2018. Militan di Gaza meluncurkan lebih dari 100 roket ke Israel.
Israel lalu meresponsnya dengan melakukan serangan ke lebih dari 50 target di Gaza selama 24 jam.
Kisruh Israel-Palestina diperparah dengan keputusan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump yang memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan ini didukung Israel, tetapi dikecam oleh pemimpin Palestina dan sejumlah pemimpin Timur Tengah dan Eropa.
Israel mengklaim seluruh wilayah Yerusalem sebagai ibu kota mereka, sementara Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.
Tak hanya itu, pada Agustus dan September 2020, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain setuju menormalisasi hubungan mereka dengan Israel. Normalisasi itu dinaungi dalam Kesepakatan Abraham yang diprakarsai oleh AS.
Namun, kesepakatan itu ditolak oleh pemimpin Palestina Mahmoud Abbad dan pihak Hamas.