Politikus sayap kanan Italia, Giorgia Meloni, keluar sebagai pemenang pemilu untuk menjadi perdana menteri menggantikan Mario Draghi yang mengundurkan diri.
Seperti dilansir AFP, dalam pemilu yang digelar pada Minggu (25/9), Meloni dari partai Persaudaraan Italia mendapatkan suara terbanyak berdasarkan exit polls.
Exit polls yang dipublikasi lembaga penyiaran Rai dan Quorum/YouTrend menempatkan Partai Persaudaraan Italia di puncak, dengan perolehan suara 22 dan 26 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aliansi Meloni yang juga politikus sayap kanan yakni Matteo Salvini, mantan PM Silvio Berlusconi dengan Forza Italia, tertinggal di belakangnya. Namun, sudah cukup bagi aliansi itu untuk mengamankan kursi mayoritas di gedung perwakilan.
Hasil itu pun menimbulkan risiko baru bagi negara-negara Uni Eropa. Sebelumnya, beberapa pekan lalu, politikus sayap kanan juga berhasil menguasai pemilu di Swedia.
Kemenangan Meloni itu akan membuat kantor PM Italia dipegang lagi sosok dengan akar neofasis. Italia tak pernah lagi dipimpin politikus sayap kanan sejak kejatuhan Benito Mussolini usai Perang Dunia II.
"Hari ini anda berpartisipasi menulis sejarah," ujar sosok 45 tahun itu via akun Twitter sebelum TPS ditutup.
Sebagai catatan, partisipasi pemilu pada akhir pekan lalu lebih rendah dari pemilu 2018 silam.
Meloni, yang berkampanye dengan moto "Tuhan, negara dan keluarga", telah mengabaikan seruan agar salah satu negara dengan ekonomi terbesar Eropa meninggalkan zona euro. Namun, dia menegaskan Roma harus lebih menekankan kepentingannya di Brussel--pusat administrasi Uni Eropa.
Sebagai informasi, Italia menggelar pemilu pada akhir pekan itu seiring keputusan Perdana Menteri Mario Draghi mengundurkan diri pada Kamis (21/7).
Sejak saat itu hingga terpilih perdana menteri yang baru, Draghi menjabat sebagai kepala pemerintah
Pada Juli lalu, Draghi menyampaikan surat pengunduran kepada Presiden Italia, Sergio Mattarella, di Istana Quirinale. Kantor kepresidenan memang mengaku telah mencatat pengunduran ini, namun mereka meminta agar pemerintahan Draghi tetap berjalan hingga Pemilu.
Gonjang-ganjing di pemerintahan Italia bermula saat parlemen menggelar pemungutan suara untuk mosi tidak percaya menyoal kebijakan mengatasi biaya hidup yang terus naik.
Dalam pemungutan suara itu, Draghi tak mendapat dukungan dari salah satu partai koalisi berkuasa, Gerakan Bintang Lima.
Sementara itu, partai lain dalam koalisi Draghi, Forza Italia dan Lega Nord enggan memberikan suara. Ia lalu merasa tak lagi didukung untuk memerintah negaranya.
"Koalisi persatuan nasional yang mendukung pemerintah sudah tak ada lagi," kata Draghi dikutip dari AFP kala itu.
Tak lama setelah pemunduran Draghi, Mattarella membubarkan parlemen. Langkah ini disebut memicu pemilihan umum lebih awal. Mulanya rencana Pemilu di Italia akan digelar pada Mei 2023 mendatang hingga akhirnya digelar pada 25 September lalu.