Selain menerapkan mobilisasi parsial, Putin juga buru-buru mengakui kemerdekaan dua wilayah Ukraina, yakni Zaporizhzhia dan Kherson, pada Kamis (29/9). Kedua wilayah itu tengah dalam kontrol pasukan Rusia dan menjadi target pencaplokan Negeri Beruang Merah.
"Saya memerintahkan pengakuan atas kedaulatan dan kemerdekaan negara [atas wilayah di Zaporizhzhia dan Kherson]," kata Putin dalam sebuah dekrit, dikutip dari AFP.
Pengakuan ini disampaikan kala Rusia berencana meresmikan pencaplokan empat wilayah Ukraina, yakni Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson, pada Jumat (30/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Pengakuan ini juga dilakukan setelah keempat wilayah itu menyelesaikan proses referendum pada Selasa (27/9), dikutip dari PBS.
Namun,banyak keganjilan terjadi dalam penyelenggaraan referendum ini. Ribuan warga diketahui telah kabur dari daerah tersebut akibat perang.
Tak hanya itu, pasukan Rusia juga menghampiri warga dari pintu ke pintu untuk mengintimidasi warga Ukraina agar memberikan suara.
Sejumlah pengamat menganggap langkah Putin yang buru-buru ini dilakukan demi menyembunyikan situasi sebenernya di medan perang, di mana mental dan pergerakan pasukan Rusia semakin lesu.
"Yang paling utama adalah menurunnya mental berperang tentara Rusia karena sudah mengalami kelesuan akibat dari perang yang berkepanjangan. Sementara semangat berjuang tentara Ukraina terus berkobar karena untuk melawan invasi asing," kata pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia, Yon Machmudi, ketika diwawancara CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Selain mental berperang tentara Rusia yang anjlok, Yon menilai faktor lain yang membuat Rusia bisa saja kalah adalah karena Ukraina mendapatkan persenjataan dari Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
"Bantuan persenjataan mutakhir dari AS dan Nato menyebabkan perlawanan Ukraina semakin kuat sedangkan Rusia sendiri mengalami banyak embargo yang berujung pada semakin terbatasnya persenjataan mereka. Ini saya kira yang menjadikan Rusia diprediksi akan mengalami kekalahan," ujar Yon lagi.
Selain itu, Yon menilai pasukan Rusia saat ini berkutat dengan kelelahan. Ia juga mengatakan Putin pun sebenarnya ingin segera mengakhiri perang, tetapi tetap dengan "muka tegak."
"Paling tidak masih bertahan sampai akhir 2022 setelah itu akan terjadi perubahan besar," tutur Yon ketika membahas soal prediksi kekalahan Rusia.
Lihat Juga :![]() KILAS INTERNASIONAL Alasan Israel Mau Akui Palestina sampai Kronologi Rumor Kudeta China |
Dalam pidatonya kala mengumumkan mobilisasi parsial, Putin secara tersirat mengancam bakal menggunakan senjata nuklir.
"Jika Rusia merasa integritas teritorialnya terancam, kami bakal menggunakan seluruh metode pertahanan yang kami miliki, dan ini bukan gertakan," kata Putin, merujuk pada seluruh senjata yang dimiliki Rusia, termasuk nuklir, dikutip dari Newsweek.
Putin kemudian berucap, "Mereka yang mencoba memeras kami dengan senjata nuklir harus tahu bahwa angin juga dapat berubah ke arah mereka."
Merespons ancaman Putin ini, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Moskow, Michael McFaul, menilai Putin tak menggertak, tetapi mencoba menghalangi pasokan senjata ke Ukraina.
"Dia mencoba mencegah Barat memberikan senjata yang lebih mutakhir ke Ukraina," katanya, dikutip dari Associated Press.
Sementara itu, seorang kolumnis The Guardian Simon Jenkins menilai penggunaan senjata nuklir di Ukraina menunjukkan seberapa putus asanya Putin.
"Vladimir Putin siap menggunakan senjata nuklir dalam upayanya menguasai Ukraina. Alasannya karena penaklukannya telah digagalkan dengan adil dan dia tak melihat jalan lain untuk maju," tulis Jenkins.
"Prospek eskalasi seperti itu mengerikan. Sebuah garis akan dilintasi. Kekuatan senjata nuklir seluruh dunia akan menganggapnya sebagai izin. [Walaupun] ini mungkin bukanlah akhir dari dunia, tapi ini mungkin adalah awal dari berakhirnya [dunia]."
(pwn/rds)