Rusia terlihat semakin kewalahan seperti kurang pasukan dalam menghadapi serangan Ukraina di beberapa wilayah yang mereka duduki.
Dilaporkan sebelumnya, pasukan Ukraina berhasil merebut wilayah Kharkiv yang sempat dikuasai Rusia pada pertengahan September.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa hari setelahnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial yang memaksa warga dalam kategori tertentu untuk mengikuti wajib militer.
Kebijakan ini ditentang oleh warga Rusia, dengan banyak dari mereka melangsungkan demo. Sementara itu, beberapa lainnya memilih kabur dari Negeri Beruang Merah.
Sebagaimana diberitakan CNN, Kremlin sejauh ini menolak ide mobilisasi massal. Pengamat Rusia juga menilai Putin tak bakal menerapkan itu.
Alasannya, Putin dinilai tahu bahwa penerapan mobilisasi massal ini terbukti tak populer. Langkah itu juga berpotensi mengubah citra "operasi militer khusus" yang ditampilkan Rusia saat ini sebetulnya adalah perang.
Pendapat ini juga diyakini oleh peneliti Pusat Strategis dan Studi Internasional (CSIS) Waffaa Kharisma.
"Kalau Rusia menambah mobilisasi terlalu besar, mereka akan keluar dari narasi 'operasi militer khusus' yang selama ini dipertahankan. Makin bisa dikritik dan makin tidak bisa dibela negara negara yang selama ini ragu menekan," kata Waffaa ketika dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (4/10).
Menurut Waffaa, langkah tersebut tidak akan populer di dalam Rusia, pun mengganggu "stabilitas negaranya sendiri."
Selain itu, Waffaa mengungkapkan bahwa sejak Putin mengumumkan mobilisasi parsial, keresahan mulai terjadi di dalam negeri Rusia.
"Sejak pengumuman mobilisasi parsial, di dalam negeri Rusia sudah banyak keresahan. Jumlahnya belum begitu jelas akan seberapa besar yang ditarik. Apalagi kan dalam implementasinya banyak juga isu terkait siapa orang yang bisa ditarik [isu drafting]," kata Waffaa.
Senada dengan pendapat Waffaa, pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan Yosef Djakababa menilai kebijakan mobilisasi ini membuat banyak warga Rusia pergi ke negara lain.
"Kebijakan ini menimbulkan efek banyaknya warga Rusia yang kemudian mengungsi keluar Rusia, seperti ke Finlandia dan Georgia, untuk menghindar dari kewajiban masuk ke dinas militer untuk dikirim ke Ukraina," kata Yosef ketika dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (4/10).
Berkaitan dengan hubungan status operasi militer khusus Rusia dalam perang Ukraina, Yosef berpendapat istilah tersebut digunakan untuk "melegitimasi" invasi Moskow.
"Hal tersebut juga untuk menghindari implikasi legal yg mungkin saja terjadi. Jadi saya pikir tidak terlalu berhubungan dengan jumlah serdadu yg mereka kirim," tutur Yosef ketika ditanya apakah status operasi militer khusus ini membuat Rusia 'terbatas' mengirim pasukannya.
Yosef juga menjelaskan implikasi legal yang dimaksud adalah, "Dalam hukum internasional tidak diperbolehkan menginvasi sebuah negara yg berdaulat."
"Jadi bahasa politik yang digunakan tidak menggunakan kata-kata tersebut. Sehingga bahasa atau istilah yang muncul adalah 'operasi militer khusus'."
Lanjut baca di halaman berikutnya...