Istilah operasi militer sendiri, kata Yosef, digunakan untuk melegitimasi invasi Rusia.
"Hal tersebut juga untuk menghindari implikasi legal yg mungkin saja terjadi. Jadi saya pikir tidak terlalu berhubungan dengan jumlah serdadu yg mereka kirim," tutur Yosef ketika ditanya apakah status operasi militer khusus ini membuat Rusia 'terbatas' mengirim pasukannya.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Yosef menilai faktor lain yang membuat Putin menerapkan wajib militer adalah karena moral serdadu Rusia yang melemah. Ini kemudian memengaruhi performa mereka di medan perang.
"Kemampuan militer Rusia memang luar biasa dari segi jumlah tentara dan kualitas alutsistanya, namun kedua faktor tersebut tidak akan cukup apabila tidak disertai moral tempur serdadu yang baik dan motivasi yang tinggi," ujar Yosef.
Yosef juga mengungkapkan, "Ditambah manajemen pengerahan angkatan bersenjata yang disinyalir buruk dan ketinggalan zaman untuk zaman modern saat ini. Kemudian juga ada faktor kepemimpinan di lapangan yang kurang mumpuni sehingga seringkali eksekusi strategi militer di lapangan tidak terlaksana dengan baik."
Sementara itu, Direktur Program Keamanan Transatlantik di Pusat Keamanan Amerika Baru (CNAS), Andrea Kendall-Taylor, menilai Putin menginvasi Ukraina lewat asumsi yang salah.
"Putin melakukan operasi dengan asumsi yang sangat salah. Para diktator personalis berbuat salah. Jadi yang utama, Putin dan Rusia sangat salah paham akan Ukraina," tuturnya, dikutip dari The New York Times.
"Putin percaya mereka [Rusia] dapat menguasai Kyiv, menggulingkan rezim [Ukraina], dan seluruh negara bakal hancur bak rumah kartu. Di sana mereka sangat salah paham terkait Ukraina."
Menurut Kendall-Taylor, Ukraina telah membentuk identitas nasional yang lebih kuat sejak 2014 dan memiliki komitmen untuk lebih mendekat ke Barat.
(pwn/bac)