Jakarta, CNN Indonesia --
China mungkin telah menjadi salah satu negara adidaya menyaingin Amerika Serikat. Namun, prestasi itu tak menjadikan Negeri Tirai Bambu bebas dari masalah sampai membuat kepala Presiden Xi Jinping pusing.
Mulai dari Taiwan, Covid-19, hingga gaya hidup kalangan muda. Berikut, sederet masalah China yang bikin pusing Xi Jinping.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Taiwan
Agustus lalu, China panen kecaman usai meluncurkan rudal ke perairan dekat Taiwan. Kejadian ini sebagai buntut kunjungan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, Nancy Pelosi.
Dari jauh-jauh hari sebetulnya, China sudah memperingatkan AS agar tak melanjutkan lawatan itu. Jika, mereka tetap berpegang pada rencananya, Beijing akan mengambil tindakan tegas bahkan aksi militer.
China tak main-main soal ancaman itu. Saat Pelosi berkunjung, mereka mengumumkan latihan militer. Di hari pertama latihan, mereka menembak 11 rudal dongfeng ke perairan Taiwan.
China memang kerap murka jika ada negara lain yang ikut campur soal urusan internalnya termasuk Taiwan.
Taiwan gigih ingin memerdekakan diri, sementara China selalu menganggap pulau ini bagian dari kedaulatannya, bahkan mereka akan mempertahankan dengan cara apapun.
Sebagai bentuk mempertahankan pulau itu, China juga kerap mengerahkan pesawat tempur ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan.
Beberapa pihak juga menilai, China bisa saja menginvasi Taiwan dalam beberapa tahun mendatang.
Menurut eks analis badan intelijen AS (CIA), John Culver, China akan menginvasi pada awal 2024. Namun, beberapa pengamat menilai lebih besar kemungkinan pada 2027, demikian dikutip Radio Free Asia.
[Gambas:Video CNN]
Dalam tulisan Culver di Carnegie Endowment for International Peace, ia mengatakan tanda-tanda perang mulai muncul.
Misalnya terus memobilisasi dan menggelar latihan reguler, pembangunan rumah sakit lapangan dan latihan propaganda yang ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat umum terhadap dampak konflik militer.
2. Gaya Hidup Anak muda
Anak-anak muda di China memilih menjadi 'kaum rebahan' ketika berhadapan dengan situasi buruk.
Di China tindakan tersebut dikenal dengan sebutan 'Bailan.' Secara harfiah, bailan berarti membiarkan membusuk.
Gerakan itu muncul karena kaum muda di China tak cukup punya kekuatan untuk merespons tekanan ekspektasi sosial di negara itu.
Mereka memilih membiarkan diri 'membusuk,' alih-alih berusaha mencapai tekanan sosial.
Salah satu kelompok muda China, Yan Jie, turut mempraktikkan gaya hidup ini.
"Saya adalah bailan-ing. Biarkan saya sendiri," demikian bunyi catatan di depan pintu kamar Yan, seperti dikutip South China Morning Post.
Fenomena 'kaum rebahan' di China muncul sebagai respons tuntutan sosial di negara itu yang dianggap terlalu tinggi.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
3. Resesi Seks
China tengah menghadapi 'resesi seks' yang berdampak terhadap angka kesuburan dan populasi yang kecil.
Istilah 'resesi seks' merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami suatu negara. Ini mempengaruhi jumlah kelahiran.
'Resesi seks' di China ramai jadi perbincangan usai sebuah laporan dengan judul The Challenges of Law Birth rate in China rilis di Wiley pada Agustus lalu.
Pada 2021 angka kelahiran hanya 7,52 kelahiran per 1.000 orang atau sekitar 11 juta bayi. Jumlah ini menjadi yang terendah sejak 1949.
Di tahun itu pula, tingkat kesuburan di China tercatat 1,16. Angka ini menjadi salah satu yang terendah di bawah standar Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk populasi yang stabil dengan tingkat 2,1, demikian dikutip Channel News Asia.
Angka kelahiran yang rendah juga dipicu tingkat pernikahan. Menurut laporan itu, jumlah pendaftaran pernikahan di China turun selama tujuh tahun berturut-turut pada 2020, dengan hanya 8,1 juta pasangan yang menikah. Angka ini menurun 12 persen dari 2019.
Untuk mengatasi masalah tersebut, China menerapkan sejumlah kebijakan. Mulai dari keringanan pajak, cuti hamil yang lebih lama, peningkatan asuransi, subsidi perumahan dan biaya tambahan untuk anak.
4. Covid-19
China dikenal sebagai negara yang ketat terkait protokol pencegahan Covid-19 atau yang disebut Strategi Nol-Covid.
Nol-Covid ini meliputi mencari kasus, melakukan tes massal, menelusuri, mengisolasi dan memberi dukungan sata lockdown.
Pemerintah kerap menerapkan lockdown di kota tertentu, bahkan saat kasus Covid-19 berjumlah belasan. Aturan ini berimbas terhadap ekonomi negara tersebut.
Strategi itu juga mendapat banyak kritik. The New York Times bahkan menuliskan Nol Covid menjadi hambatan bagi ekonomi, perjalanan dan kehidupan sehari-hari.
Dalam beberapa kasus, penguncian menyebabkan kekurangan makanan dan kebutuhan sehari-hari lain, misalnya di Yining.
Penduduk mengeluh karena mengalami kondisi yang menyedihkan di kamp karantina dan mengalami kelaparan akibat pembatasan mobilitas.
5. Krisis ekonomi
Pada 27 September, menurut laporan Bank Dunia, ekonomi China diproyeksikan tumbuh 2,8 persen. Angka ini merupakan penurunan signifikan dari perkiraan yang sebelumnya berada di angka 5,0 persen.
Sementara itu, Dana moneter Internasional (IMF) memproyeksikan produk domestik bruto (PDb) China melambat tajam menjadi 4,3 persen pada 2022.
Ekonomi China dilaporkan tengah lesu imbas strategi Nol-Covid yang mereka terapkan. Hal ini mengganggu sektor industri, penjualan domestik, hingga aktivitas ekspor.
"Pandemi dan penguncian hanya memperburuk masalah," kata pengamat ekonomi politik China di Universitas Johns Hopkins, Ho Fung Hung, seperti dikutip AFP.
Beberapa pengamat menilai, China akan berjuang lebih keras pada 2022 ini untuk memulihkan ekonomi. Selain itu, krisis di sektor properti juga masih menjadi masalah bagi China.
Kondisi demikian, membuat Presiden China Xi Jinping meminta bank sentral barat menghindari kenaikan suku bunga terlalu cepat demi melawan inflasi.
Kondisi ekonomi China yang lesu juga berdampak terhadap angka pengangguran yang tinggi di negara itu.
Hampir 11 juta lulusan memasuki pasar kerja China pada Agutus 2022. Namun, pertumbuhan ekonomi tak menyentuh angka satu persen, hanya bertengger di 0,4 persen pada kuartal kedua. Angka itu terlemah dalam dua tahun.
"Kenyataannya lebih serius daripada yang ditunjukkan data. Jika masalah terus berlanjut tanpa perbaikan, akan dengan mudah menyebarkan gangguan sosial," kata Hung.