Saudi menunjukkan tanda-tanda akan bergabung dengan Kesepakatan Abraham.
Kesepakatan tersebut merupakan upaya Israel, yang dibantu AS, untuk menormalisasi hubungan dengan negara Teluk.
Meski demikian, Saudi mengurungkan niat tersebut sehingga membuat AS kecewa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saudi merilis pernyataan berisi penolakan terhadap laporan AS soal tuduhan ke MbS sebagai dalang pembunuhan Khashoggi.
Di tahun yang sama, AS setuju menjual rudal senilai $US650 juta atau Rp9,3 triliun ke Arab Saudi.
Persetujuan itu memungkinkan Saudi membeli hingga 280 rudal canggih jarak menengah AIM-120C dan peralatan terkait untuk mengisi kembali pasokan rudal yang ada.
Pada Juni lalu, Biden mengatakan Saudi menunjukkan kepemimpinan yang berani dengan mendukung perpanjangan gencatan senjata di Yaman.
Sebulan setelahnya, orang nomor satu AS itu berkunjung ke Saudi.
Menurut Biden, kunjungan ini bertujuan untuk menyatukan kembali hubungan kedua negara.
Selain itu, tujuan Biden melawat ke Saudi untuk meminta bantuan di tengah harga minyak yang sedang tinggi.
Ia juga akan mendorong upaya mengakhiri perang di Yaman, dan meminimalisir pengaruh Iran di Timur Tengah.
Saudi sementara itu, menyambut kunjungan Biden. Riyadh disebut sepakat menambah 50 persen produksi minyak pada Juli dan Agustus.
Namun, pada awal Oktober, OPEC memutuskan akan mengurangi produksi minyak demi kepentingan ekonomi.
Biden pun langsung mengecam keputusan OPEC yang dipimpin Saudi dan menilainya bermuatan politik. AS bahkan menuduh Saudi cenderung ke pihak Rusia karena memutuskan pangkas produksi minyak bertentangan permintaan pemerintah Biden.
Saudi kemudian membantah bahwa pemangkasan produksi minyak bermotif politik seperti yang dituduhkan Washington.
(isa/bac)