PBB juga menggarisbawahi pasal soal larangan mengakses alat pencegah kehamilan atau kontrasepsi. Dalam Pasal 410-211 RKUHP versi 9 November itu menyebutkan bahwa siapa pun yang secara terang-terangan menunjukkan alat kontrasepsi, menawarkan hingga menyiarkan tulisan soal itu bisa dipenjara hingga enam bulan atau didenda hingga Rp10 juta.
PBB menilai aturan itu bisa membatasi informasi soal kesehatan yang penting. Padahal memberikan dan menerima pendidikan seksualitas secara bebas sudah diatur dalam Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR.
Oleh sebab itu, aturan tersebut hanya akan mendiskriminasi hak untuk mendapatkan informasi soal kesehatan reproduksi dalam hal ini kontrasepsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, PBB juga menyoroti kriminalisasi terhadap seks di luar nikah dan kohabitasi. Menurut PBB, aturan itu bisa saja digunakan untuk menyasar kelompok LGBT di Indonesia. Apalagi, pernikahan sesama jenis merupakan ilegal di RI.
Larangan itu pun juga dinilai melanggar hak privasi seseorang yang pada dasarnya telah dilindungi hukum internasional.
Bukan cuma itu, pasal soal cabul juga menjadi satu dari sekian banyak perhatian PBB. PBB berpandangan pasal itu bisa memperburuk kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap kelompok LGBT.
Lebih jauh, aturan soal kebebasan beragama atau berkeyakinan juga juga dinilai cukup menuai polemik. Sebab, orang dengan keyakinan minoritas seperti ateis bisa dikriminalkan.
PBB juga menaruh perhatiannya terhadap pembatasan berpendapat dan berekspresi serta berserikat.
Menurut organisasi global itu, beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi jurnalistik yaitu dalam pasal 263 dan 264, kemudian Pasal 188 yakni kejahatan terhadap ideologi negara, Pasal 218-220 yakni penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Kemudian Pasal 349-350 tentang penghinaan terhadap lembaga negara dan Pasal 440 tentang pencemaran nama baik.
Rancangan Pasal 256 soal demo juga disorot, serta Pasal 118-189 soal hukuman terhadap orang yang menyebarkan ajaran Marxis-Leninis dan orang yang mengikuti ideologi tersebut.
"Menjadi perhatian serius bahwa kriminalisasi penodaan agama dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mendorong dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka oleh individu yang menganut pandangan agama dan politik yang ekstrem," bunyi surat PBB.
Berdasarkan hal-hal tersebut, PBB pun mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali RKUHP sebelum disahkan. PBB kala itu berharap pembaruan KUHP ini bisa selaras dengan kewajiban HAM internasional Indonesia dan tidak berpotensi pada kemunduran.
"Kami menegaskan kembali kesediaan kami untuk berbagi keahlian teknis kami dan membantu Indonesia dalam upayanya untuk memperkuat kerangka legislatif dan kelembagaan negara, menjamin penikmatan hak asasi manusia untuk semua orang di Indonesia, termasuk hak atas kesetaraan, kebebasan dari diskriminasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat, pikiran, hati nurani, agama atau kepercayaan," tutup PBB.
(blq/isa/bac)